Para aktivis nasionalis sekular,
terutama mereka yang aktif dalam organisasi Theosofi dan Freemason
berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem
pemerintahan. Negara tak perlu diatur oleh agama, cukup dengan nalar dan
moral manusia.
Paham kebangsaan yang diusung oleh
kelompok nasionalis sekular pada masa lalu di negeri ini adalah ideologi
“keramat” yang netral agama (laa diniyah) dan kerap
dibentur-benturkan dengan Islam. Kelompok nasionalis sekular,
sebagaimana tercermin dalam pemikiran Soekarno dan para aktivis
kebangsaan lainnya yang ada dalam organisasi seperti Boedi Oetomo,
adalah mereka yang menolak agama turut campur dalam sistem pemeritahan.
Mereka berusaha menjauhkan peran agama, khususnya Islam, dalam sistem
berbangsa dan bernegara. Mereka menjadikan Turki sekular di bawah
pimpinan Mustafa Kemal At-Taturk sebagai kiblat dalam mengelola
pemerintahan.
Kiblat kelompok kebangsaan kepada Turki
Sekular tercermin jelas dalam pernyataan tokoh Boedi Oetomo, dr Soetomo
yang mengatakan, “Perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk
jelas, bahwa cita-cita “Pan-Islamisme” telah digantikan oleh
nasionalisme.” Dengan rasa bangga, saat berpidato dalam Kongres Partai
Indonesia Raya (Parindra) pada 1937, Soetomo mengatakan,”Kita harus
mengambil contoh dari bangsa-bangsa Jahudi, jang menghidupkan kembali
bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki dan Tsjech kembali menghormati
bangsanya sendiri.”
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, dr Tjipto
Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai
bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya persatuan Islam yang membentang di
berbagai belahan dunia, dengan sistem dan pemerintahan Islam di bawah
khilafah Islamiyah. Pada 1928, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis surat
kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati
akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi Haji Agus
Salim dan HOS Tjokroaminoto. Tjipto khawatir, para aktivis Islam yang
dituduh memiliki agenda mengobarkan Pan-Islamisme di Nusantara itu bisa
menguasai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka
berhasil masuk dalam PPKI, kata Tjipto, maka cita-cita kebangsaan akan
hancur.
Pernyataan Tjipto Mangoenkoesomo makin
memperjelas sikap kalangan pengusung paham kebangsaan atau nasionalis
sekular yang berusaha membendung segala upaya dan cita-cita Islam dalam
pergerakan nasional dan pemerintahan di negeri ini. Sebelum kemerdekaan,
perdebatan soal Islam dan kebangsaan antara kelompok nasionalis sekular
yang diwakili oleh Soekarno dan kawan-kawan dengan kelompok Islam yang
diwakili A. Hassan, M. Natsir, dan H. Agus Salim begitu menguat ke
publik. Berbagai polemik tentang dasar negara menjadi perbincangan
terbuka di media massa. Kelompok Islam menginginkan negara yang nantinya
merdeka, menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Sementara
kelompok nasionalis sekular berusaha memisahkan agama dan pemerintahan.
“Manakala agama dipakai buat memerintah masyarakat-masyarakat manusia,
ia selalu dipakai sebagai alat penghukum di tangan raja-raja,
orang-orang zalim, dan orang-orang tangan besi,” kata Soekarno mengutip
perkataan Mahmud Essad Bey.
Sarekat Islam, sebagai organisasi
pergerakan yang mengusung cita-cita Islam, melalui tokohnya HOS
Tjokroaminoto memang menyerukan kepada SI untuk melancarkan gerakan tandzim guna
mengatur kehidupan rakyat di lapangan ekonomi, sosial, budaya, menurut
asas-asas Islam. Sedangkan H. Agus Salim, selain menyerukan perlawanan
terhadap kapitalisme, juga menyerukan tentang kekhilafahan Islam dan
Pan-Islamisme, sehingga berdiri apa yang disebut dengan Central Comite Chilafat. Nasionalisme dalam pengertian Salim adalah memajukan nusa dan bangsa berdasarkan cita-cita Islam.
Mohammad Natsir dalam Majalah Pembela Islam tahun 1931 menulis bahwa kelompok yang ingin memisahkan agama dari urusan negara adalah kelompok “laa diniyah” (netral
agama). Natsir menegaskan, ada perbedaan cita-cita antara kelompok
kebangsaan dan para aktivis Islam tentang visi negara merdeka. Natsir
menyatakan, kemerdekaan bagi umat Islam adalah untuk kemerdekaan Islam,
supaya berlaku peraturan dan undang-undang Islam, untuk keselamatan dan
keutamaan umat Islam khususnya, dan untuk semua makhluk Allah umumnya.
Natsir menyindir kelompok nasionalis sekular dengan mengatakan,
“Pergerakan yang berdasarkan kebangsaan tidak akan ambil pusing, apakah
penduduk muslimin Indonesia yang banyaknya kurang lebih 85% dari
penduduk yang ada, menjadi murtad, bertukar agama. Kristen boleh,
Theosofi bagus, Budha masa bodoh.”
Sementara kelompok kebangsaan, terutama
mereka yang aktif dalam organisasi Theosofi dan Freemason,
mengampanyekan bahwa nasionalisme yang dibangun di negeri ini harus
sesuai dengan doktrin humanisme, di mana manusia berhak menentukan hukum
buatan sendiri yang bertujuan untuk mengabdi kepada kemanusiaan, tanpa
campur tangan agama manapun. Van Mook, tokoh Freemason di Hindia Belanda
ketika itu, dalam sebuah pidato di Loge Mataram, Yogyakarta, tahun
1924, mengatakan, “Freemasonry membimbing nasionalisme menuju cita-cita
luhur dari humanitas.”
Paham humanisme yang dibawa oleh
elit-elit kolonial, teruatama mereka yang aktif sebagai anggota Theosofi
dan Freemason inilah yang kemudian “ditularkan” kepada “anak-anak
didik” para priyai dan elit Jawa yang menjadi abdi kompeni. Mereka
mengampanyekan soal kesamaan semua agama-agama, tidak percaya dengan
hukum Tuhan dan mempercayai kodrat alam, dan tentu saja sebagaimana
trend imperialisme negara-negara Eropa ketika itu, adalah mengampanyekan
bahaya “Pan-Islamisme”, semangat solidaritas Islam dunia untuk
membangun sebuah pemerintahan.
Karena itu, untuk membendung
Pan-Islamisme di Nusantara, apalagi ketika itu banyak tokoh-tokoh Islam
yang pulang dari haji dan menimba ilmu di Makkah juga menyuarakan
Pan-Islamisme, maka pemerintah kolonial membentuk basis-basis tandingan
dengan mendukung berdirinya organisasi-organisasi kebangsaan seperti
Boedi Oetomo, Jong Java, dan lain sebagainya. Selain itu, mereka juga
merangkul para priyai sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial,
memberi keluasan bagi anak-anak keturunan mereka untuk bersekolah di
negeri Belanda, dan mendirikan pendidikan-pendidikan netral (neutrale onderwijs), yang berbasis pada pembentukan karakter manusia dengan berpedoman pada hukum kodrat alam.
Tak sedikit dari para elit dan priyai
Jawa ketika itu, baik yang aktif dalam organisasi kebangsaan ataupun
mereka yang menjabat sebagai residen, asisten residen, wedana, dan
sebagainya yang masuk dalam organisasi Theosofi dan Freemason. Bahkan,
tak sedikit juga dari mereka yang masuk sebagai anggota Rotary Club,
sebuah lembaga kemanusiaan yang dibentuk oleh Zionisme Internasional.
Pelecehan demi pelecehan terhadap Islam dilakukan oleh para pengusung
kebangsaan, seperti pernyataan bahwa ke Boven Digul lebih baik daripada
ke Makkah, pergi haji adalah upaya menimbun modal nasional untuk
kepentingan asing, Islam adalah agama impor yang berusaha menjajah tanah
Jawa, dan sebagainya.
Terkait dengan Theosofi, Allahyarham
Mohammad Natsir dalam Majalah Panji Islam Tahun 1940 menulis sebuah
artikel yang menyindir kelompok Theosofi. Natsir memberi judul
artikelnya “Dokter Agama”. Ia menulis, “Ada dokter yang datang dengan
obat “synthese” yakni obat campur aduk sebagaimana yang
dianjurkan oleh orang-orang Theosofi, yang berpendapat bahwa semua agama
itu sama baik, dan lantaran itu kita ambil dari Islam mana “yang baik”.
Di ambil dari Kristen, dari Hindu, mana yang kita rasa “baik”. Dengan
begitu tidak ada bentrokan-bentrokan melainkan damai, aman dan sentausa
(toleran namanya sekarang)…akhir kesudahannya menghasilkan “agama
gado-gado”. Budha tanggung, Islam tidak, Kristen pun tak tentu.” (bersambung)
Sumber: http://www.suara-islam.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar