Assalamu 'Alaikum Wr. Wb.


Assalamu 'Alaikum Wr. Wb.


Pandangan Mata Selalu Menipu..

Pandangan Akal selalu tersalah..
Pandangan nafsu selalu melulu..
Pandangan hati itu yang hakiki..kalau hati itu bersih..

Semua Manusia Akan Rusak, Kecuali Orang Yang Berilmu.
Orang Yang Berilmu pun Akan Rusak, Kecuali Orang Yang Beramal.
Orang Yang Beramal pun Akan Rusak, Kecuali Yang Ikhlas.

.

by : Fandy Al-Qassam Scousers

Rabu, 18 Juli 2012

Dinasti Saudi: Dari Mana Asal Mereka? dan Siapa Sesungguhnya Nenek-Moyangnya?

Penelitian dan pemaparan Mohammad Sakher:
Setelah menemukan fakta-fakta di bawah ini, Rejim Saudi memerintahkan untuk membunuhnya.
Raja Saud-1957
Apakah anggota keluarga Saudi berasal dari Suku Anza bin Wa’il seperti pengakuannya?
Apakah agama mereka Islam?
Apakah mereka asli Bangsa Arab?
Di Najd, pada tahun 851 H serombongan bani Al-Masalikh, keturunan Suku Anza, membentuk sebuah kafilah dipimpin oleh Sahmi bin Hathlul, ditugaskan untuk membeli bahan makanan, biji-bijian gandum dan jagung ke Iraq. Ketika sampai di Bashra, mereka langsung menuju ke sebuah toko pakan yang pemiliknya seorang Yahudi bernama Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe. Ketika sedang berlangsung tawar-menawar, Yahudi si pemilik toko bertanya kepada mereka: “Berasal dari suku manakah Anda?”. Mereka menjawab: “Kami berasal dari Bani Anza”, salah satu Suku Al-Masalikh”. Mendengar nama suku itu disebut,
orang Yahudi itu memeluk mereka dengan mesra sambil mengatakan bahwa dirinya juga berasal dari Suku Al-Masalikh, namun menetap di Bashra, Iraq karena permusuhan keluarga antara ayahnya dengan anggota Suku Anza lainnya.
Setelah Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe mengatakan kepada mereka ceritera yang direkayasa mengenai dirinya, dia kemudian memerintahkan kepada pembantunya untuk menaikkan barang-barang belanjaan kafilah itu ke atas Unta-unta mereka. Sikap Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe yang dinilai baik dan tulus itu membuat kagum rombongan bani Masalikh dan sekaligus menimbulkan kebanggaan mereka karena bertemu saudara sesama suku di Iraq – dimana mereka mendapatkan bahan makanan yang sangat mereka perlukan, mereka percaya kepada setiap kata yang diucapkan Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe, karena dia seorang pedagang kaya komoditi pakan, mereka menyukai Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe (walaupun sebenarnya dia bukan orang Arab dari suku Al-Masalikh, tapi seorang Yahudi yang berpura-pura)
Saat kafilah sudah siap akan kembali ke Najd, pedagang orang Yahudi itu meminta ijin menumpang dengan mereka pergi ke tempat asalnya, Najd. Permintaan pedagang Yahudi itu diterima dengan senang hati oleh rombongan bani Al-Masalikh.
Akhirnya Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe sampai di Najd. Di Najd ia mulai menyebarluaskan propaganda dirinya dibantu beberapa orang dari bani Al-Masalikh yang baru tiba bersama-’sama dia dari Bashra. Propagandanya berhasil, sejumlah orang mendukungnya, tetapi ditentang oleh yang lain dipimpin oleh Shaikh Saleh Salman Abdullah Al-Tamimi, ulama di kota Al-Qasim, yang wilayah dakwahnya meliputi Najd, Yaman dan Hijaz. Ia mengusir Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe ( nenek moyang Keluarga Saudi yang saat ini berkuasa ) dari kota Al-Qasim ke kota Al-Ihsa, di sana ia mengganti namanya menjadi Markhan bin Ibrahim Musa . Kemudian dia pindah ke daerah Dir´iya dekat Al-Qatif. Di daerah ini dia mulai menyebarkan ceritera rekayasa kepada penduduk mengenai Perisai Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam yang dirampas sebagai rampasan perang oleh orang musyrik Arab sewaktu Perang Uhud. Perisai itu kemudian dijual oleh orang musyrik Arab kepada Suku Yahudi Bani Qunaiqa dan menyimpannya sebagai koleksi barang berharga. Perlahan tapi pasti, Markhan bin Ibrahim Musa menanamkan pengaruhnya di antara orang-orang Badui melalui ceritera fiktif yang hal ini memberitahu kita bagaimana berpengaruhnya suku-suku Yahudi di Arab dengan menempati kedudukan terhormat. Dia menjadi orang penting diantara suku Badui dan memutuskan untuk tetap tinggal di kota Dir´iya, dekat Al-Qatif kemudian memutuskan menjadikannya sebagai ibukota di Teluk Persia. Ia bercita-cita menjadikan kota itu sebagai batu loncatan untuk membangun kerajaan Yahudi di Tanah Arab.
Dalam rangka memenuhi ambisisnya, dia mulai mendekati dan mempengaruhi suku Arab Badui padang pasir untuk mendukung posisinya, kemudian menobatkan dirinya sebagai raja mereka.
Pada saat yang genting ini, Suku Ajaman bersama-sama dengan Suku Bani Khalid mencium bahaya Yahudi licik ini dan sangat mengkhawatirkan rencana jahatnya, karena dia telah dapat mengukuhkan identitasnya sebagai orang Arab. Mereka sepakat untuk menghentikannya, kemudian menyerang kota Dar’iya dan berhasil menaklukannya, tetapi sebelum menawan Markhan bin Ibrahim Musa, dia melarikan diri.
Dalam pelariannya, Yahudi nenek moyang Keluarga Saudi (Mordakhai) mencari perlindungan di sebuah perkebunan Al-Malibiid-Ghusaiba dekat Al-Arid, milik orang Arab. Sekarang kota itu bernama Al-Riyadh.
Mordakhai meminta perlindungan politik kepada pemilik perkebunan. Pemiliknya yang ramah itu kemudian segera memberikan tempat perlindungan. Namun belum juga sampai sebulan dia tinggal di perkebunan itu, Mordakhai membunuh pemilik beserta anggota keluarganya, kemudian mengarang ceritera bahwa mereka dibunuh oleh perampok. Dia juga mengaku telah membeli real estate dari pemiliknya sebelum kejadian tragis itu. Maka tinggallah dia disana sebagai pemilik tanah yang baru, kemudian daerah itu diberi nama baru Al-Di’riya, nama yang sama dengan tempat sebelumnya yang ia tinggalkan.
Yahudi nenek moyang Keluarga Saudi (Mordakhai) segera membangun sebuah “Guest House” yang disebutnya “Madaffa” di atas tanah yang direbut dari korbannya. Kemudian berkumpullah disekelilinya kelompok munafik yang mulai menyebarkan propaganda bohong bahwa Mordakhai adalah seorang Seikh Arab terkemuka. Mereka merencanakan membunuh Sheikh Saleh Salman Abdullah Al-Tamimi, musuh bebuyutan Mordakhai dan berhasil membunuhnya di sebuah mesjid di kota Al-Zalafi.
Mordakhai puas telah berhasil membunuh Sheikh Saleh Salman Abdullah Al- Tamimi, kemudian menjadikan Al-Dir’iya sebagai tempat tinggalnya. Di Al-Dir’iya dia berpoligami dan beranak’pinak, anak-anaknya diberi nama asli Arab.
Sejak saat itu keturunan dan kekuasaan mereka tumbuh berkembang di bawah nama Suku Saudi, mereka juga mengikuti jejak Mordakhai dan kegiatannya dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi serta berkonspirasi melawan bangsa Arab. Secara ilegal mereka menguasai daerah pedalaman dan tanah-tanah perkebunan, membunuh setiap orang yang mencoba menghalangi rencana jahat mereka. Untuk mempengaruhi penduduk di wilayah itu, mereka menggunakan segala macam jenis tipu daya untuk mencapai tujuannya: mereka suap orang-orang yang tidak sefaham dengan uang dan perempuan. Mereka suap penulis sejarah untuk menuliskan biografi sejarah keluarganya yang bersih dari kejahatan, dibuatkannya silsilah keluarga bersambung kepada Suku Arab terhormat seperti Rabi’?, Anza dan Al-Masalikh.
Seorang munafik zaman kiwari bernama Mohammad Amin Al-Tamimi – Direktur/Manager Perpustakaan Kontemporer Kerajaan Saudi, menyusun garis keturunan (Family Tree) untuk Keluarga Yahudi ini (Keluarga Saudi), menghubungkan garis keturunan mereka kepada Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam . Sebagai imbalan pekerjaannnya itu, ia menerima imbalan sebesar 35.000 (Tiga Puluh Lima Ribu) Pound Mesir dari Duta Besar Saudi Arabia di Kairo pada tahun 1362 H atau 1943 M. Nama Duta Besar Saudi Arabia itu adalah Ibrahim Al-Fadel.
Seperti disebutkan di atas, Yahudi nenek moyang Keluarga Saudi (Mordakhai), yang berpoligami dengan wanita-wanita Arab melahirkan banyak anak, saat ini pola poligami Mordakhai dilanjutkan oleh keturunannya, dan mereka bertaut kepada warisan perkawinan itu.
Salah seorang anak Mordakhai bernama Al-Maqaran, (Yahudi: Mack-Ren) mempunyai anak bernama Muhammad, dan anak yang lainnya bernama Saud, dari keturunan Saud inilah Dinasti Saudi saat ini.
Keturunan Saud (Keluarga Saud) memulai melakukan kampanye pembunuhan pimpinan terkemuka suku-suku Arab dengan dalih mereka murtad, mengkhianati agama Islam, meninggalkan ajaran-ajaran Al-Quran, dan keluarga Saud membantai mereka atas nama Islam.
Di dalam buku sejarah Keluarga Saudi halaman 98-101, penulis pribadi sejarah keluarga Saudi menyatakan bahwa Dinasti Saudi menganggap semua penduduk Najd menghina tuhan, oleh karena itu darah mereka halal, harta-bendanya dirampas, wanita-wanitanya dijadikan selir, tidak seorang islampun dianggap benar, kecuali pengikut sekte Muhammad bin Abdul Wahhab (yang aslinya juga keturunan Yahudi Turki). Doktrin Wahhabi memberikan otoritas kepada Keluarga Saudi untuk menghancurkan perkampungan dan penduduknya, termasuk anak-anak dan memperkosa wanitanya, menusuk perut wanita hamil, memotong tangan anak-anak, kemudian membakarnya. Selanjutnya mereka diberikan kewenangan dengan Ajarannya yang Kejam ( Brutal Doctrin ) untuk merampas semua harta kekayaan milik orang yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran agama karena tidak mengikuti ajaran Wahhabi.
Keluarga Yahudi yang jahat dan mengerikan ini melakukan segala jenis kekejaman atas nama sekte agama palsu mereka (sekte Wahhabi) yang sebenarnya diciptakan oleh seorang Yahudi untuk menaburkan benih-benih teror di dalam hati penduduk di kota-kota dan desa-desa. Pada tahun 1163 H, Dinasti Yahudi ini mengganti nama Semenanjung Arabia dengan nama keluarga mereka, menjadi Saudi Arabia, seolah-olah seluruh wilayah itu milik pribadi mereka, dan penduduknya sebagai bujang atau budak mereka, bekerja keras siang dan malam untuk kesenangan tuannya, yaitu Keluarga Saudi.
Mereka dengan sepenuhnya menguasai kekayaan alam negeri itu seperti miliknya pribadi. Bila ada rakyat biasa mengemukakan0 (sembilan pukuh) Suite rooms di Grand Hotel dengan harga $1 juta semalamnya. Dapatkah kita memberikan komentar terhadap pemborosan yang dilakukan keluarga kerajaan seperti itu, yang pantas adalah: Dihukum pancung di lapangan terbuka.
- Pada tahun 1960′an, pemancar radio “Sawt Al-Arab” di Kairo, Mesir, dan pemancar radio di Sana’a, Yaman, membuktikan bahwa nenek moyang Keluarga Saudi adalah Yahudi.
Kesaksian bahwa nenek moyang Keluarga Saudi adalah Yahudi:
- Raja Faisal Al-Saud tidak bisa menyanggah bahwa keluarganya adalah keluarga Yahudi ketika memberitahukan kepada the WASHINGTON POST pada tanggal 17 September 1969, dengan menyatakan bahwa: “Kami, Keluarga Saudi, adalah keluarga Yahudi: Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau Islam yang memperlihatkan permusuhannya kepada Yahudi, sebaliknya kita harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia merupakan sumber awal Yahudi dan nenek-moyangnya, dari sana menyebar ke seluruh dunia”. Itulah pernyataan Raja Faisal Al-Saud bin Abdul Aziz.
Hafb, kakekku, Saud Awal, menceriterakan saat menawez Wahbi, Penasihat Hukum Keluarga Kerajaan Saudi menyebutkan di dalam bukunya yang berjudul “Semenanjung Arabia” bahwa Raja Abdul Aziz yang mati tahun 1953 mengatakan: “Pesan Kami (Pesan Saudi) dalam menghadapi oposisi dari Suku-suku Araan sejumlah Shaikh dari Suku Mathir, dan ketika kelompok lain dari suku yang sama datang untuk menengahi dan meminta membebaskan semua tawanannya, Saud Awal memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk memenggal kepala semua tawanannya, kemudian mempermalukan dan menurunkan nyali para penengah dengan cara mengundang mereka ke jamuan makan, makanan yang dihidangkan adalah daging manusia yang sudah dimasak, potongan kepala tawanan diletakkannya di atas piring. Para penengah menjadi terkejut dan menolak untuk makan daging saudara mereka sendiri, karena mereka menolak untuk memakannya, Saud Awal memerintahkan memenggal kepala mereka juga. Itulah kejahatan yang sangat mengerikan yang telah dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya sendiri sebagai raja kepada rakyat yang tidak berdosa, kesalahan mereka karena menentang terhadap kebengisannya dan memerintah dengan sewenang-wenang.
Hafez Wahbi selanjutnya menyatakan bahwa, berkaitan dengan kisah nyata berdarah yang menimpa Shaikh suku Mathir, dan sekelompok suku Mathir yang mengunjunginya dalam rangka meminta pembebasan pimpinan mereka yang menjadi tawanan Raja Abdul Aziz Al-Saud bernama Faisal Al-Darwis. Diceriterakannya kisah itu kepada utusan suku Mathir dengan maksud mencegah agar mereka tidak meminta pembebasan pimpinan mereka, bila tidak, mereka akan diperlakukan sama. Dia bunuh Shaikh Faisal Darwis dan darahnya dipakai untuk berwudlu sebelum dia shalat. (melaksanakan ajaran menyimpang Wahhabi). Kesalahan Faisal Darwis waktu itu karena dia mengkritik Raja Abul Aziz Al-Saud, ketika raja menandatangani dokumen yang disiapkan penguasa Inggris pada tahun 1922 sebagai pernyataan memberikan Palestina kepada Yahudi, tandatangannya dibubuhkan dalam sebuah konferensi di Al-Qir tahun 1922.
Sistem rejim Keluarga Yahudi (Keluarga Saudi) dulu dan sekarang masih tetap sama: Tujuan-tujuannya adalah: merampas kekayaan negara, merampok, memalsukan, melakukan semua jenis kekejaman, ketidakadilan, penghujatan dan penghinaan, yang kesemuanya itu dilaksanakan sesuai dengan ajarannya Sekte Wahhabi yang membolehkan memenggal kepala orang yang menentang ajarannya.

Bagaimana Globalis Menciptakan Terorisme Untuk Menghancurkan Islam Dan Menjustifikasi Negara Dunia

Menurut prinsip dialektik Hegel. Pendukung Global telah menciptakan dua kekuatan yang saling bertentangan, “Demokrasi-Liberal” Barat, melawan Terorisme, atau “politik Islam”, mereka memaksa kita untuk menerima alternatif akhir, sebuah Tatanan Dunia Baru.
Barat dan Islam telah lama mengalami masa keserasian, namun sejarah ini telah dikesampingkan untuk membantu mitos “Benturan Kebudayaan” Dalam rangka membakar sentimen Barat melawan Islam. Perhatian kita pusatkan kepada sosok fanatik Wahhabisme, dan lebih spesifik lagi, terhadap seorang exponen paling notorius, yaitu Osama bin Laden.
Sebagaimana diuraikan didalam sebuah tulisan yang bagus oleh Peter Goodgame, The Globalists and the Islamists,, Globalis berperan dalam membentuk dan membiayai semua organisasi teroris abad ke-20, termasuk Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hamas di Palestina dan Mujahidin Afghanistan. Akan tetapi sejarah bermuka dua Globalis dapat dilihat jauh ke masa lalu, yaitu pada abad ke-18 ketika Freemasonry Inggris menciptakan dan menyusupupi sekte Wahhabi di Saudi Arabia, yang diperalat untuk mencapai tujuan imperialis Inggris.
Seorang mata-mata Inggris bernama Hempher bertanggungjawab dalam membentuk ajaran ekstrim Wahhabisme, hal ini disebutkan dalam sebuah karya tulis Turki Mir’at al-Haramain, oleh Ayyub Sabri Pasha antara tahun 1933-1938. Politik Inggris di wilayah jajahan sering menciptakan aliran yang menyimpang, hal ini dilakukan dalam rangka Memecah-belah dan Menaklukan Turki ustmani, seperti pembentukkan sekte Islam Ahmadiyyahdi India dalam abad ke-19.
Rincian konspirasi ini diuraikan di dalam sebuah dokumen yang kurang dikenal dengan nama The Memoirs of Mr. Hempher diterbitkan dalam bentuk serial (episode) di surat kabar Jerman, der Spiegel , dan kemudian diterbitkan juga di dalam surat kabar terkenal Perancis. Seorang dokter bangsa Libanon menterjemahkan dokumen tersebut ke dalam bahasa Arab, dari bahasa Arab dialih-bahasakan kedalam bahasa Inggris dan beberapa bahasa lainnya.
Dokumen itu merupakan laporan pertanggungjawaban misi Hempher kepada pemerintah Inggris, yang telah menugaskannya ke Timur Tengah untuk menemukan cara-cara bagaimana meruntuhkan Kekaisaran Turki. Diantara rencana jahat Inggris yang dipromosikan Hempher adalah rasialisme, nasionalisme, alkohol, perjudian, pelacuran dan mengupayakan wanita Islam menanggalkan pakaian jilbabnya.
Untuk memahami jenis fanatisme yang ditanamkan kedalam ajaran Wahhabisme, pertama-tama penting untuk diketahui bahwa Islam, tanpa melihat suku dan kebangsaannya, menganggap semua orang Islam sebagai saudara se-Iman. Membunuh sesama muslim dilarang keras.
Akan tetapi, sebagai bagian dari siasat Memecah-belah dan Menaklukan, Inggris harus mengadu-domba Arab Islam melawan saudaranya bangsa Turki. Cara satu-satunya untuk melakukan hal tersebut adalah dengan menemukan celah di dalam hukum Islam yang dapat dimanfaatkan, yang dengan itu orang-orang Arab dapat menyatakan Turki sebagai orang yang murtad.
Abdul Wahhab diperalat Inggris agar dapat menyampaikan gagasan jahatnya kepada orang Islam di Semenanjung Arab. Wahhab melaksanakan ide Inggris dengan menghasut para ulama bahwa saudara mereka bangsa Turki telah murtad, oleh karenanya dibolehkan untuk dinunuh bila menolak pembaharuan Islam yang dilakukan Abdul Wahhab, termasuk seluruh dunia Islam yang menolak, memperbudak wanita dan anak-anaknya, kecuali sebagian kecil para pengikutnya yang sesat.
Gerakan Wahhabi tidak berarti tanpa adanya kesetiaan keluarga Saudi, keturunan pedagang Yahudi dari Iraq (were descended from Jewish merchants from Iraq). Para ahli fiqih waktu itu memberikan label kepada Wahhabi sebagai pelaku bid’ah dan mengecam sikap fanatik dan tidak toleran. Meskipun demikian, Wahhabi tetap mempertahankan keyakinannya dengan tidak pandang bulu. melakukan pembantaian terhadap orang Islam dan non-Islam. Kemudian Wahhabi mulai menghancurkan tempat-tempat yang dianggap keramat dan pekuburan umum, mereka mencuri peninggalan Nabi, termasuk Al-Qur’an, karya seni dan barang-barang berupa hadiah yang tak ternilai harganya milik kota yang dikirim ribuan tahun lalu.
Sultan Turki menghentikan perlawanan Wahhabi pertama pada tahun 1818, namun sekte Wahhabi bangkit kembali di bawah pimpinan Saud al-Faisal I. Walaupun tidak kuat, gerakan Wahhabi kemudian bangkit lagi, namun ditumpas lagi oleh Sultan Turki pada akhir abad ke-19.
Setelah Perang Dunia I, bekas wilayah Kekaisaran Turki dipecah-pecah menjadi beberapa wilayah pemerintahan boneka. Untuk membantu meruntuhkan kekuasaan di wilayah itu, Ibnu Saud diberi hadiah oleh Inggris dengan membentuk Kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1932. Setahun kemudian, Kerajaan Saudi memberikan konsesi minyak kepada California Arabian Standard Oil Company (Casoc, sekarang bernama CHEVRON), yang dikepalai oleh orang kepercayaan Rothschild, dan pimpinan keluarga Illuminati di Amerika, yaitu Rockefeller. Sejak saat itu, Saudi Arabia menjadi sekutu terpenting Barat di Timur Tengah, bukan hanya sekedar memberikan akses kepada cadangan minyak yang melimpah, tapi juga dalam rangka melemahkan perlawanan Arab terhadap Israel . Kemunafikan penguasa Saudi terlihat jelas dengan menindas secara brutal pihak yang berbeda pandangannya dengan penguasa. Aspek penting lainnya adalah mencegah dan menghalangi para ulama berbicara politik mengkritik rejim penguasa.
Di dalam buku The Two Faces of Islam Stephen Schwartz menulis, : Hawa nafsu mereka membawanya ke kedai minum, kasino, rumah pelacuran … Mereka membeli armada mobil, pesawat jet pribadi, kapal pesiar seukuran kapal perang. Mereka menginvestasikan uangnya dalam seni Barat yang bernilai yang mereka sendiri tidak memahaminya atau yang sejenisnya, seringkali mereka menyakiti perasaan ulama Wahhabi. Mereka membelanjakan uangnya sekehendak hatinya, mereka juga menjadi pola perbudakan seks internasional dan dalam mengeksploitasi anak-anak.
Dalam rangka memperlihatkan dukungannya kepada Islam, rejim Saudi dan ulama bayarannya menyusun versi Islam yang menekankan seremonial agama secara terinci, …. Cara yang dilakukan telah memberikan dukungan atas interpretasi hukum Islam secara harfiah, dan memungkinkan orang-orang seperti bin Laden mengeksploitasi Al-Qur’an sebagai alasan pembenar membunuh orang-orang yang tidak berdosa.
Akhirnya, melimpahnya uang petro-dolar Rothschild dari keluarga Saudi telah memungkinkan bagi mereka melakukan propaganda Islam versi Wahhabi ke bagian dunia lain, terutama sekali ke Amerika, dimana mereka memberikan bantuan keuangan kepada lebih dari 80% mesjid di negeri ini. Wahhabi adalah sebuah versi Islam yang meggantikan kesadaran politik dengan dogma yang menekankan atas pelaksanaan ritual yang fanatik.
Pada tahun 1999 Raja Fahd dari Saudi Arabia menghadiri pertemuan Bilderberg, bersama-sama dengan tokoh lainnya seperti Yasser Arafat dan Paus, untuk membicarakan perannya dalam memajukan kepentingan pemerintahan dunia, Keluarga Saudi jelas merupakan bagian dari jaringan perkumpulan rahasia Illuminati. Kekayaan petro-dolar mereka yang melimpah digunakan untuk mendanai terorisme global, dari Afghanistan sampai ke Bosnia , semata-mata dengan tujuan untuk menimbulkan permusuhan yang kuat dunia melawan Islam.
Mulkan Jabariyyah masih ada sekarang. Salah satunya adalah Saudi Arabia. Begitu jelas rezim ini berwala kepada Amrikiyyah dengan kontrak senjata yg ia miliki bernilai jutaan dollar dan membiarkan pasukan salibis zionis untuk memiliki basis di Dahran [Saudi akan hancur bila tidak kuffar itu melindungi rezim ini].  Janji dari  rezim Saudi di satu pertemuan Rabithah al-Alamiyah bahwa  militer  Amerika akan hengkang nyatanya sampai sekarang mereka masih bercokol di Haramain! Yang ini memudahkan dan memfasilitasi penyerangan atas negeri muslim lainnya di Jazirah Arab. Padahal dengan jelas bahwa kuffar harb dilarang untuk menguasai Haramain, dilarang untuk mengusai wikayah Islam secara umum apalagi Haramain.
Raja-Abdul-Aziz-al-Saud
Raja Abdul Aziz sudah hampir buta dan menggunakan tongkat selama beberapa tahun terakhir hidupnya sebelum mati di Taif, Arab Saudi pada tanggal 9 November 1953.
Thn 1930-an Abdul Aziz berhasil menipu para mujahidin dengan merayu agar mereka mundur dari al-Aqsa yg kala itu hampir dikuasai para mujahidin dan Inggris sudah kewalahan membendung para mujahidin. Abdul Aziz memberi jaminan Inggris akan keluar. Namun hanyalah tipudaya yang menyesatkan dengan akhirnya Israel berdiri tahun 1948.
Begitu juga Saudi menangkapi Ulama yg benar-benar pewaris nabi.  Tercatat thn 2000-an Syaikh Muhamad al Mohaysany ditangkap setelah berdoa untuk kemenagam Ummat atas penjajahan dan agresi Zionis Salibis dan berdoa utk keruntuhan kerajaan-kerajaan Thagut yang bersekongkol dengan Amerika. Begitu juga Ulama seperti Salman al-Audah dll. Ulama ini tak gentar untuk berkata benar walau harus dipenjara seperti halnya Salafus Shalih, Ibnu Taymiyyah ysng pernah dipenjara.
Saudi selalu bersembunyi dengan ‘Kederwanannya’ dalam mengurusi Masjidil Haram. Seperti halnya Quraish dahulu yg menguasai Masjidil Haram pada masa Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam namun memusuhi Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabat. Pesan untuk Saudi adalah Qur’an surat At-Taubah 9:19.
أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللّهِ لاَ يَسْتَوُونَ عِندَ اللّهِ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Apakah sama rezim yg berwala kepada Amerika sang penjagal Ummat yang paling sengit pemusuhannya kepada Ummat dengan mereka yang berjihad melawan Amerika?
Demikianlah.., setelah mulkan jabariyyah seperti Saudi ini runtuh maka Khilafah Ala minhajin nubuwwah inyaAllah akan didirikan kembali oleh Ummat seluruh dunia.
southernwatchF16
Akhir perang Irak dan pemerintah Saddam Hussein berarti misi militer Amerika di sini sudah berakhir.
Air Force Maj. Gen. Robert J. Elder Jr. at the deactivation ceremony for the 363rd Air Expeditionary Wing, Prince Sultan Air Base, August 26, 2003
dhahran-map
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“MASA KENABIAN itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendakinya untuk mengangkatnya. Kemudian masa KHILAFAH ALAA MINAJIN NUBUWWAH, adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menggigit (MULKAN ADHON), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa kerajaan yang menyombong (MULKAN JABARIYYAH), adanya atas kehendak Allah. Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian masa KHILAFAH ‘ALAA MINHAJIN NUBUWWAH, kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad dan Al-Baihaqi)
Diterjemahkan oleh: akhirzaman.info
Original source=>http://www.fortunecity.com/boozers/bridge/632/history.html
http://www.serendipity.li/wot/livingstone.htm
http://islamic.xtgem.com/ibnuisafiles/info/realy/khilafah.htm
__THESA+ANTI THESA___________________________________________________________________

Meluruskan Sejarah Wahhabi

Download Audio Bedah Buku: “Meluruskan Sejarah Wahhabi”


Kata “wahhabi” sudah tidak terasa asing ditelinga kita, ketika orang yang awam mendengar kata ini dan ketika membayangkan kelompok yang disebut dengan sebutan ini maka yang terbetik di mereka adalah aliran Islam yang sesat yang suka mengkafirkan atau menyesatkan kaum muslimin lainnya dan segudang celaan-celaan lain. Semuanya disebabkan oleh adanya sumber-sumber atau rujukan yang tidak jelas kebenarannya dan hanya kedustaan belaka yang tersebar dikalangan orang awam mengenai “Wahhabi”, atau juga karena ketaqlidan (hanya ikut-ikutan) sebagian orang awam terhadap tulisan-tulisan tersebut. Oleh karena itu dalam pembahasan ceramah bedah buku ini akan meluruskan dan membantah beberapa tuduhan yang dilontarkan kepada dakwah yang dibawa oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini yang disampaikan langsung oleh penulis, Ust Abu Ubaidah Yusuf. Bagi yang ingin mendapatkan penjelasan detail silahkan merujuk langsung ke buku langsung. Semoga bermanfaat.
Faidah-faidah yang dapat dipetik dari pembahasan,
1. Bantahan terhadap salah satu artikel yang mencela syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan ajaran yang dibawanya dengan judul “Membongkar Kedok Wahabi, Satu Dari Dua Tanduk Setan” yang dimuat dalam majalah Cahaya Nabawi hal 8-17 edisi 33 th. III Sya’ban 1426 H
2. Merupakan Sunnatulloh bahwa akan banyak celaan, fitnah, dan tuduhan yang miring yang dilontarkan kepada ulama-ulama yang menyebarkan dakwah tauhid, pemberantas syirik, bid’ah dan mengingatkan ummat atasnya. Hal ini sebagaimana yang menimpa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, yang dalam menyebarkan dakwahnya beliau dicela, difitnah, bahkan disakiti oleh orang-orang yang tidak menyukai dakwah tauhid beliau. Maka barangsiapa yang mengaku mengikuti Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, pasti akan mengalami hal yang sama yaitu dalam celaan, fitnah dan tuduhan yang jauh dari kebenaran untuk menjauhkan ummat kepada dakwah tauhid yang dibawanya.
3. Keroposnya sumber, rujukan atau referensi penulis artikel tersebut, mengingat betapa pentingnya suatu penukilan dan periwayatan terhadap suatu kabar. Imam Muslim rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa merupakan kewajiban atas setiap orang yang bisa membedakan antara riwayat yang shahih dan lemah, dan antara penukil yang terpercaya dan pembohong, hendaknya dia tidak meriwayatkan kecuali kabar yang dia ketahui keabsahannya dan penukil yang terpercaya, dan menjauhi dari kabar orang-orang yang tertuduh dan penyeleweng dari kalangan ahli bid’ah. Adapun dalil yang menguatkan hal ini adalah firman Allah….(QS. Al-Hujurat :6) (Shahih Muslim 1/20-22 Syarah Nawawi)
4. Sumber artikel tersebut berputar pada dua orang, yang pertama Mr.Hemper dan Syaikh Ahmad Zaini. Mr. Hemper, yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di timur tengah, sebagaimana pengakuan penulis (artikel tersebut) sendiri (hal.9). Jadi Hempher adalah seorang orientalis kafir yang dengki terhadap Islam dan berusaha sekuat tenaga untuk membuat kerusakan. Oleh karena itu para ulama bersepakat bahwa riwayat orang kafir adalah mentah, tidak diterima. Sedangkan tentang Syaikh Ahmad Zaini, syaikh Muhammad Rasyid Ridha mengatakan, “Sesungguhnya Dahlan bukanlah seorang yang ahli di bidang hadits, sejarah, dan ilmu kalam. Dia hanyalah taklid kepada orang-orang yang juga taklid dan hanya menukil dari kitab-kitab mutaakhirrin (orang-orang belakangan) ” (Meluruskan Sejarah Wahhabi hal.23). Dengan demikian jika dilihat dari sumber rujukan, maka artikel tersebut berada pada pondasi yang keropos.
5. Kitab-kitab yang dijadikan sumber rujukan artikel tersebut dengan kedua tokoh di atas sarat dengan kedustaan dan pemutarbalikkan fakta.
6. Wahhabi bukanlah sebuah gelar yang dicetuskan oleh pengikut dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah sendiri, namun dari musuh-musuh dakwah, baik karena politik saat itu atau para pecinta kesyirikan dari kalangan kaum sufi dan rafidhoh dengan tujuan melarikan manusia dari dakwah yang beliau emban dan menggambarkan bahwa beliau membawa ajaran baru atau madzhab kelima yang menyelisihi empat madzhab. (Meluruskan Sejarah Wahhabi hal. 76)
7. Kesalahan penamaan gelar “Wahhabi” itu sendiri jika memang nama tersebut dinisbahkan kepada Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Karena nama beliau bukanlah Abdul Wahhab (ayahnya), dan jika mau diluruskan, maka penamaan yang benar adalah “Muhammadiyah” karena nama beliau adalah Muhammad. Jika mau jujur, bahwa “Wahhabi” adalah golongan dan penamaan yang mulia karena justru penisbatan kepada al Wahhab (Maha Pemberi) yang merupakan salah satu nama Allah.
8. Kelompok yang dituduh dengan sebutan “Wahhabi” bukanlah merupakan madzhab yang baru apalagi merupakan agama tersendiri diluar Islam. Raja Abdul Aziz mengatakan, “Mereka menjuluki kami “Wahhabiyun” dan madzhab kami adalah “Wahhabi” sebagai madzhab tertentu, maka ini adalah kesalahan fatal akibat kabar bohong yang didesuskan oleh sebagian kalangan yang memiliki niat jahat. Kami bukanlah pemeluk madzhab baru atau aqidah baru. Muhammad bin Abdul Wahhab tidaklah membawa ajaran baru. Aqidah kami adalah aqidah salaf shalih yang diajarkan dalam al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana pemahaman salafus shalih. Kami menghormati imam empat, tidak adanya bagi kami Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Abu Hanifah, semuanya sangat terhormat dalam pandnagan kami.” (Meluruskan Sejarah Wahhabi hal.78).
9. Pada kenyataannya, dapat kita saksikan sendiri bahwa setiap orang yang memperingatkan ummat atas kesyirikan dan cabang-cabangnya, mengingkari kebid’ahan dan memperingatkan ummat atasnya, maka dia akan disebut “Wahhabi”. Sehingga ini justru menjadi simbol bagi setiap golongan yang mengikuti al-Quran dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman yang benar yaitu pemahaman shalafus shalih. Maka tidak heran ada perkataan ulama, “Jika pengikut Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam adalah Wahhabi, maka akui bahwa diriku Wahhabi.” (Meluruskan Sejarah Wahhabi hal. 82)
10. Salah satu contohnya adalah gelar yang diberikan pula kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) sebagai “Wahhabi”, padahal beliau tidak mengenal Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan hidup pada masa sebelum syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat 1206 H). Kenapa tidak sekalian saja bahwa syaikh Muhhammad bin Abdul Wahhab itu disebut “Taimiyyi” ? yang bisa saja beliau disebut demikian karena beliau hidup pada masa setelah Syaikh Ibnu Taimiyyah dengan ajaran yang dibawa sama, yakni dakwah tauhid, pemurnian Islam dari Syirik, Bid’ah, dan Khurofat.
11. Bantahan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merendahkan Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, tidak mencintai Nabi, tidak bersholawat kepada Nabi, bahkan tuduhan bahwa beliau mengaku menjadi Nabi.
12. Bantahan bahwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab suka mengkafirkan kaum muslimin.
13. Bantahan bahwa syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah finah Nejed seperti yang pernah disabdakan oleh Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam.

Jawaban Terhadap Pak Prof . KH. Said Agil Siraj, M.A. (Ketua Umum PBNU) yang Telah Merekomendasikan Buku Penuh Dusta “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”

salafi
Oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzhahullah
Sangat disayangkan, seorang profesor doktor yang bernama KH. Said Agil Siraj ikut-ikutan pula memberi kata pengantar dan menganjurkan untuk membaca buku yang sangat tidak ilmiah dan penuh dengan kedustaan serta pemutarbalikan fakta ini. Bahkan profesor memujinya sebagai karya ilmiah. Buku ini juga penuh dengan prasangka buruk terhadap negeri yang dibangun oleh Al-Imam Muhammad bin Su’ud dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah yaitu Kerajaan Saudi Arabia (KSA).
Saya tidak tahu, apakah sang profesor lupa dengan jasa-jasa pemerintah Saudi Arabia terhadapnya, di mana profesor belajar dari tingkat S1 sampai meraih gelar doktor di universitas yang ada di Kerajaan Saudi Arabia yang dibiayai oleh pemerintah, bagaikan kacang yang lupa akan kulitnya.
Berikut ini beberapa catatan terhadap kata pengantar sang Profesor.
1. Tuduhan Profesor bahwa sahabat yang mulia Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu melakukan tipuan.
Profesor berkata dalam kata pengantarnya, “Ketika Amr bin Ash melakukan tipuan dengan mengangkat Mushaf Al-Qur’an sebagai tanda perdamaian, Ali r.a. dan komandan pasukannya Malik Ibnu Asytar, tidak mempercayainya.” (Sejarah Berdarah…, hal. 13)
Jawaban:
Profesor yang terhormat, tidakkah Anda memiliki adab terhadap sahabat yang mulia Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu dengan menuduhnya telah melakukan tipuan?
Apakah anda lupa bagaimana jasa sahabat dalam menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada generasi selanjutnya hingga hari ini kita bisa mengamalkan Islam?
Sulitkah bagi Anda untuk mendoakan Amr bin Ash radhiallahu ‘anhu sebagaimana engkau lakukan untuk Ali radhiallahu ‘anhu?[1]
Adapun aqidah kami, aqidah yang Anda sebut Wahabi, tidak seperti kaum Syi’ah[2] yang mengkultuskan Ali radhiallahu ‘anhu dan membenci para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lainnya. Aqidah kami penuh cinta dan penghormatan kepada seluruh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Aqidah Al-Washitiyyah,
“DAN DI ANTARA PRINSIP AHLUS SUNNAH WAL  JAMA’AH ADALAH SELAMATNYA HATI DAN LISAN MEREKA TERHADAP PARA SAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam syarahnya mengatakan,
“SELAMATNYA HATI YAITU TIDAK MEMBENCI, TIDAK HASAD, TIDAK DENGKI DAN TIDAK SUKA TERHADAP SAHABAT. ADAPUN SELAMATNYA LISAN, YAITU TIDAK MENGUCAPKAN SESUATU YANG TIDAK LAYAK BAGI SAHABAT. MAKA AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH BERSIH DARI PERBUATAN TERCELA ITU, HATI MEREKA PENUH DENGAN CINTA, PENGHORMATAN DAN PEMULIAAN TERHADAP PARA SAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM.”[3]
Demikianlah yang harus dilakukan generasi umat Islam setelah sahabat, yaitu mendoakan generasi pendahulu mereka dan tidak membenci mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Yaa Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Yaa Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr [59]: 10)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam kitabnya Risalah Ila Ahlil Qosim,
“Aku mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam aku hanya menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan keridhoan untuk mereka, memohon ampun untuk mereka, aku tidak berbicara tentang kejelekan-kejelekan mereka dan perselisihan yang terjadi di antara mereka dan aku meyakini keutamaan mereka, sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Yaa Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Yaa Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr [59]: 10) (Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzhahullah, hal. 129-130)
Adapun tentang pertikaian dan perselisihan yang terjadi antara para sahabat radhiallahu ‘anhu, seperti Ali dan Mu’awiyah yang melibatkan Amr bin Ash radhiallahu ‘anhum, berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-Aqidah Al-Wasitiyyah,
Ahlus Sunnah wal Jama’ah menahan diri dari pertikaian yang terjadi antara para sahabat. Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa riwayat-riwayat tentang kejelekan para sahabat di antaranya ada yang dusta, ada yang ditambah, dikurangi dan dirubah-rubah sehingga tidak seperti kisah yang sebenarnya.
Dan yang benar (pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah) dalam masalah pertikaian para sahabat, bahwa mereka diberikan pemaafan, sebab para sahabat adalah mujtahid yang benar mendapat dua pahala dan yang salah mendapat satu pahala.”[4]
Apakah Profesor tidak mengindahkan himbauan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak mecela sahabatnya?
Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan:
لَا تَسُبُّو أَصْحَابِي لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَ لَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencerca sahabatku, janganlah kalian mencerca sahabatku, demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, andaikan seorang dari kalian bersedekah emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai segenggam emas yang disedekahkan oleh sahabatku, tidak pula separuhnya.” (HR. Al-Imam Muslim)[5]
Kenyataan ini adalah bukti penyimpangan aqidah dan kecondongan kepada Syi’ah yang ada dalam buku ini, karena memang kolompok Syi’ah yang ajarannya penuh dengan kesyirikan dan bid’ah, yang paling banyak dirugikan dengan munculnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Tidak terkecuali penulis buku Sejarah Berdarah ini yang cenderung mengakui Karbala sebagai “tanah suci” versi Syi’ah, walaupun kelihatannya saudara Idahram belum berani secara tegas membela Syi’ah dalam buku ini, sehingga Idahram tidak terang-terangan mengatakan bahwa Syi’ah-lah yang menjadikan Karbala sebagai kota suci.
Saudara Idahram berkata, “Ada sebagian umat muslim yang menjadikannya sebagai salah satu kota suci.” (Sejarah Berdarah…, hal. 70)
Pembaca yang budiman, sebetulnya, ucapan Profesor, “Ali r.a. dan komandan pasukannya Malik Ibnu Asytar, tidak mempercayainya. Tapi karena didesak oleh sekelompok orang, akhirnya Ali r.a. pun menerima perdamaian itu,” juga mengandung celaan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, karena mengandung tiga tuduhan:
Pertama, Ali radhiallahu ‘anhu tidak mempercayai seorang muslim yang jujur, Profesor pun tidak mampu mendatangkan bukti ilmiah atas tuduhan ini.
Kedua, Ali radhiallahu ‘anhu orang yang lemah, yang mudah didesak.
Ketiga, Ali radhiallahu ‘anhu seakan tidak mau melakukan perdamaian, padahal dengan itu pertumpahan darah antara kaum muslimin dapat dihentikan. Apakah engkau mengira Ali radhiallahu ‘anhu mau terus membunuh kaum muslimin?!
2. Tuduhan Profesor bahwa Imam Muhammad bin Su’ud dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memisahkan diri dari Khilafah Utsmani (Sekaligus jawaban terhadap tuduhan Syaikh Idahram bahwa Wahabi bekerjasama dengan Inggris)
Profesor berkata –dengan tanpa bukti sedikitpun-, “Tapi awal abad ke-18, Gubernur Najd, Muhammad Ibnu Su’ud, yang didukung seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahhab memisahkan diri dari khalifah Utsmani.” (Sejarah Berdarah…, hal. 15)
Jawaban:
Sangat disayangkan seorang profesor berbicara tanpa sedikit pun memberikan bukti, bahkan bukti-bukti sejarah menuturkan bahwa Najd memang tidak termasuk dalam wilayah kekuasaan Khilafah Utsmani sebagaimana akan kami paparkan insya Allah.
Tidak jauh beda dengan tuduhan dusta saudara Idahram, “Bekerjasama dengan Inggris Merongrong Kekhalifahan Turki Utsmani”. (Sejarah Berdarah…, hal. 120)
Ternyata (pada hal. 121), yang dijadikan bukti oleh Idahram adalah arsip sejarah milik orang-orang kafir Inggris.
Padahal dalam sejarah Islam, jangankan kepada orang-orang kafir, berita orang-orang muslim yang fasik saja tidak boleh kita percayai begitu saja.[6] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Al-Imam Muslim rahimahullah berkata tentang makna ayat di atas dakam Muqaddimah Shahihnya,
“KABAR YANG BERASAL DARI ORANG FASIK ITU JATUH, TIDAK BOLEH DITERIMA. DAN PERSAKSIAN SEORANG YANG TIDAK ADIL (YAITU TIDAK BERIMAN DAN BERTAKWA) TERTOLAK.”[7]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah memperingatkan,
كَفَى بِلْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukupklah seorang dianggap pendusta, jika dia menceritakan setiap yang dia dengarkan.” (HR. Al-Imam Muslim)[8]
Pembaca yang budiman, menjawab tuduhan dusta ini kami nukilkan dulu bagaimana pandangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah terhadap usaha memisahkan diri atau merongrong kepemimpinan kaum muslimin. Beliau rahimahullah berkata dalam Risalah Ila Ahlil Qosim,
Aku memandang wajibnya mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin, apakah itu pemimpin yang baik maupun jahat, selama mereka tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.”[9]
Dan siapa yang memimpin khilafah dan manusia bersatu dalam kepemimpinannya, mereka ridho kepadanya, meskipun dia mengalahkan mereka dengan pedang sampai menjadi khilafah, maka wajib taat kepadanya dan haram memisahkan diri (memberontak) kepadanya.”[10]
Beliau rahimahullah juga berkata dalam kitabnya Sittatu Ushulin ‘Azhimah Mufidah,
“Di antara kesempurnaan persatuan kaum muslimin adalah mendengar dan taat kepada pemimpin meskipun yang memimpin kita adalah seorang budak habasyi (Etiopia).”[11]
Beliau rahimahullah juga berkata tentang perangai Jahiliyah dalam kitabnya Masail Jahiliyyah,
“Anggapan kaum jahiliyyah bahwa menyelisihi pemimpin, tidak mendengar dan taat kepadanya adalah sebuah keutamaan, sedangkan mendengar dan taat kepadanya adalah kehinaan dan kerendahan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi mereka, beliau memerintahkan untuk mendengar, taat dan menasehati pemimpin.”[12]
Inilah sesungguhnya pandangan beliau terhadap pemberontakan terhadap penguasa muslim, bahwa hal itu diharamkan dalam Islam. Adapun tentang bekerjasama dengan orang-orang kafir dalam memerangi kaum muslimin, beliau rahimahullah berkata dalam risalah Nawaqidul Islam,
“Pembatal keislaman yang kedelapan, bekerjasama dengan kaum musyrikin dan tolong-menolong dengan mereka dalam memerangi kaum muslimin.”[13]
Bagi orang yang adil dan obyektif, penukilan langsung dari kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah di atas sebenarnya sudah cukup sebagai bantahan terhadap mereka yang menuduh beliau memberontak kepada khalifah Turki Utsmani dengan bantuan orang-orang kafir Inggris. Namun untuk lebih dapat membungkam kedustaan mereka, berikut ini kami nukilkan fakta sejarah bahwa wilayah Najd tidak termasuk wilayah kekuasaan Turki Utsmani ketika itu.
Prof. Dr. Shalih Al-‘Abud –semoga Allah menjaganya- memaparkan hasil penelitian beliau,
“Najd bukanlah termasuk dalam wilayah kekuasaan daulah Utsmaniyah, penguasa Utsmani tidak pernah  melakukan perluasan sampai ke Najd, tidak pula para penguasa Utsmani pernah datang ke Najd. Pasukan Turki tidak pernah menembus Najd sebelum munculnya dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Bukti atas kenyataan sejarah ini adalah sebuah studi menyeluruh terhadap pembagian admisnistrasi wilayah daulah Utsmaniyyah, dari sebuah dokumen Turki yang berjudul, “Undang-undang Utsmani yang mencakup daftar perbendaharaan negeri”, ditulis oleh Yamin Ali Afandi, petugas dan penjaga daftar Al-Khaqoni pada tahun 1018 H yang bertepatan dengan 1608 M. Dari dokumen ini jelas bahwa sejak awal abad ke-11 Hijriah, daulah Utsmaniyah terbagi 32 distrik, di antaranya 14 distrik wilayah Arab dan negeri Najd tidaklah termasuk wilayahnya kecuali Ahsaa, jika kita menganggapnya sebagai Najd.”[14]
Pada akhirnya Ahsaa pun lepas karena pemberontakan Bani Khalid yang menganut Syi’ah pada tahun 1080 H, yang pada akhirnya juga Bani Khalid berusaha memerangi Dir’iyyah dan berhasil dikalahkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pasukannya. Dalam ensiklopedi sejarah Muqotil min Ash-Shoro’, tercatat 7 kali penyerangan Bani Khalid dari Ahsaa ke Dir’iyyah, Qosim dan daerah-daerah yang telah mengikuti dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah.
Tujuh penyerangan ini terjadi pada tahun 1172 H, 1178 H, 1188 H, 1192 H, 1193 H, 1195 H, dan 1197 H. Pada tahun 1198 H Dir’iyyah baru melakukan serangan pembalasan atas kejahatan mereka.
Pada tahun 1207 H, Dir’iyyah bisa menguasai Ahsaa dan menerima permohonan damai mereka, sehingga dibuatlah perjanjian damai. Adapun sebagian pemimpin Bani Khalid ini lari ke Kuwait dan berhasil membangun kekuatan di sana, maka pada tahun 1208 H Dir’iyyah pun mengejar Bani Khalid sampai ke Kuwait.
Menurut Ensiklopedi Sejarah Al-Muqotil min Ash-Shohro’, yang ditulis oleh 10 pakar sejarah, sebagaimana dalam website resminya, bahwa penyerangan Dir’iyyah pertama terhadap Bani Khalid di Kuwait itu terjadi pada tahun 1208 H, berbeda dengan klaim saudara Idahram, pada tahun 1205 H (pada hal. 95)
Dan pada tahun 1208 H, Ahsaa juga mengkhianati perjanjian damai dengan membunuh para pemimpin, pengurus baitul maal dan penasihat yang ditugaskan Dir’iyyah di Ahsaa. Maka Dir’iyyah pun kembali menyerang Ahsaa untuk membalas (qishash) para pembunuh.
Pada tahun 1210 H, Ahsaa kembali memberontak, namun berhasil dipadamkan oleh Dir’iyyah. Inilah rangkaian kejadian penyerangan Ahsaa dan  Kuwait yang sebenarnya, tidak sekedar penggalan-penggalan sejarah yang dibuat saudara Idahram (pada hal. 91-93) dan penyerangan Kuwait (pada hal. 95-96).
Jadi jelaslah kalau ternyata buku yang diberi kata pengantar oleh sang profesor ini tidak lebih dari sebuah karya yang sangat tidak ilmiyah dan penuh dengan kedustaan serta pemutarbalikan fakta.
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُّبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)
3. Profesor menyesalkan pembongkaran terhadap situs-situs sejarah dan meratakan kuburan

Profesor berkata, “Begitu masuk Mekkah, mereka langsung meratakan semua kuburan, termasuk kuburannya Siti Khadijah, Abdullah bin Zubaer, Asma binti Abu Bakar, kuburan para sahabat, dan semua kuburan ulama.” (Sejarah Berdarah…, hal. 15)
Lalu dengan sangat berlebihan profesor mengatakan –yang lagi-lagi Profesor berbicara tanpa bukti-,
“Situs-situ sejarah perkembangan Islam juga dibongkar: rumah paman Nabi Saw…” (Sejarah Berdarah…, hal. 16)
Saudara Idahram pun tak ketinggalan, Idahram berkata,
“Kemudian, mereka menghancurkan kubah di Pekuburan Baqi, seperti kubah Ahlul Bait (isteri-isteri Nabi, anak dan keturunannya) serta perkuburan kaum muslimin.” (Sejarah Berdarah…, hal. 86)
Idahram juga berkata,
“Sebelum kehadiran mereka, penginggalan bersejarah itu terjaga dengan rapi…” (Sejarah Berdarah…” hal. 105)
Jawaban:
Profesor yang terhormat, menjaga tauhid jauh lebih penting dari sekedar menjaga situs-situs sejarah Islam, sehingga Islam tidak melarang sedikit pun penghancuran tempat-tempat bersejarah demi untuk menjaga tauhid. Tentunya selama itu bukan tempat yang dilarang untuk dihancurkan. Buktinya pemerintah Saudi tidak pernah menhancurkan ka’bah, hajar aswad maupun maqam Ibrahim ‘alaihissalam.
Jangankan rumah atau kubah kuburan yang hanya sebuah benda mati, bahkan sebuah pohon yang merupakan makhluk hidup dan saksi sejarah perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada peristiwa Bai’atur Ridhwan (bahkan pohon ini disebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits), ditebang oleh Khilafah Ar-Rasyid Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, ketika beliau mendengar adanya sebagian orang yang mulai melakukan napak tilas sejarah ke pohon tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tentang pohon ini dalam Al-Qur’an:
لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS. Al-Fath: 18)
Juga disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits,
لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Tidak akan masuk neraka seorang pun yang berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi)[15]
Namun ternyata, pohon yang sangat bersejarah itu ditebang oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu.
Apa sebab beliau menebangnya?
Apakah karena di situ terjadi kesyirikan?
Jawabannya, belum terjadi kesyirikan di situ. Beliau menebangnya hanya karena khawatir jangan sampai pohon tersebut kelak dijadikan tempat kesyirikan. Padahal, orang-orang yang datang ke sana tidak melakukan kejahatan, yang mereka lakukan hanyalah sholat di bawah pohon itu.
Al-Imam Ibnu Wadhdhah rahimahullah menuturkan,
سَمِعْتُ عِيْسَى بْنَ يُيْنُسَ يَقُيْلُ; أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الخطابِ رَضي اللە عَنْەُ بقطعِ الشَّجَرَةِ التي بوْيعَ تَحْتَهَا النَّبيُّ صلى اللە عليە و سلم٬ فقطعَهَا٬ لَأَنَّ النّاس كانوْا يذْهَبُوْنَ فيصلوْنَ تَحْتهَا٬ فخافَ عَليْهِمُ الفِتْنة
“Aku mendengar Isa bin Yunus berkata, Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu memerintahkan untuk memotong pohon yang di bawahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dibai’at, maka dipotonglah. Hal itu dilakukan karena orang-orang pergi ke pohon itu untuk sholat di bawahnya, maka beliau khawatir mereka akan ditimpa fitnah (syirik).”[16]
Adapun menghancurkan kubah-kubah di kuburan dan meratakannya, inilah salah satu isu mereka untuk memberi kesan jelek terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Dalam hal ini, mereka memanfaatkan keawaman sebagian besar kaum muslimin yang tidak mengetahui hakikat permasalahan ini.
Padahal, meratakan kuburan yang ditinggikan memang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan telah diamalkan dengan baik oleh sahabat dan tabi’in. Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisabur rahimahullah meriwayatkan:
عَنْ أَبِى الهَيَّاجِ الأَسَدِىِّ قَال قَال لِى عَلىُّ بْنُ أَبِى طَالِبِ أَلَّا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِى عَلَيْەِ رَسُلُ اللە صلى اللە عليە و سلم أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَشْتَهُ وَ لَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Dari Abul Hayyaj Al-Asadi rahimahullah, beliau berkata, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepadaku, akan aku utus engkau sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutusku; janganlah engkau biarkan sebuah patung (dalam riwayat lain: gambar bernyawa) kecuali engkau hancurkan dan tidak pula kuburan yang ditinggikan, kecuali engkau ratakan.” (HR. Al-Imam Muslim)[17]
Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang  kaum muslimin membangun kuburan, seperti dalam hadits,
نهى رسول الله صلى اللە عليە و سلم أن يجصص القبر و أن يقعد عليه و أن يبنى عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengapur kuburan, duduk di atasnya dan dibangun di atasnya.” (HR. Al-Imam Muslim)[18]
Pembesar ulama Syafi’iyyah, Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
“ADAPUN MEMBANGUN DI ATAS KUBURAN, APABILA TANAH PEKUBURAN MILIK ORANG YANG MEMBANGUNNYA MAKA HAL ITU MAKRUH[19] DAN JIKA DI PEKUBURAN UMUM MAKA HARAM,HAL SEPERTI INI DINASHKAN OLEH ASY-SYAFI’I DAN ULAMA SYAFI’IYYAH.
Berkata Al-Imam Syafi’I dalam Al-Umm,
DAN AKU MELIHAT PARA IMAM DI MAKKAH MEMERINTAHKAN UNTUK MENGHANCURKAN KUBURAN YANG DIBANGUN. ADAPUN DALIL YANG MENDUKUNG PENGHANCURAN KUBURAN ADALAH SABDA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM (KEPADA ALI BIN ABI THALIB RADHIALLAHU ‘ANHU):
لَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ
“Dan tidaklah ada kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan”.”[20]
Pembaca yang budiman, ternyata menghancurkan dan meratakan kuburan memang perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diamalkan oleh sahabat dan tabi’in, juga dianjurkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam An-Nawawi serta diperintahkan oleh para imam Makkah yang hidup di zaman Al-Imam Asy-Syafi’i.[21]
Walhamdulillah, ketika para pelaku syirik dan bid’ah membangun kembali kuburan-kuburan di Makkah, Madinah dan sekitarnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dan pasukannya mengancurkan bangunan-bangunan itu kembali setelah sekian lama diagungkan dan disembah oleh sebagian orang. Jadi pantas kalau banyak ulama menggelari beliau sebagai Mujaddid (pembaharu).
Asy-Syaikh Muhammad bin Utsman Asy-Syawi rahimahullah menceritakan kisah yang terjadi pada tahun 1343 H, yaitu penghancuran kuburan di kota Makkah yang telah dijadikan arena kesyirikan oleh sebagian orang, beliau berkata,
“Ketika kami selesai melakukan umroh, kami segera menghancurkan kubah-kubah (kuburan), dan kami dapati sesuatu yang sangat berat untuk diceritakan, berada pada kubah yang dibangun di atas kuburan Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu ‘anha. Di antaranya kami dapati sebuah surat permohonan (doa) yang berbunyi,
‘WAHAI KHADIJAH, WAHAI UMMUL MUKMININ, KAMI DATANG BERZIARAH KEPADAMU, KAMI BERDIRI DI PINTUMU, MAKA JANGANLAH ENGKAU MENOLAK KAMI SEHINGGA KAMI MERUGI, BERILAH SYAFAA’AT KEPADA KAMI, AGAR SAMPAI KEPADA MUHAMMAD, AGAR SAMPAI KEPADA JIBRIL, AGAR SAMPAI KEPADA ALLAH’.
KAMI JUGA MENDAPATI KUBURAN TERSEBUT KAMBING SESAJEN UNTUK MENDEKATKAN DIRI (TAQARRUB) KEPADA KHADIJAH RADHIALLAHU ‘ANHA.”[22]
Tidak diragukan lagi, berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyembelih untuk selainNya adalah perbuatan syirik, sebab do’a dan menyembelih adalah ibadah, maka mempersembahkan doa dan sembelihan kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala berarti beribadah kepada selainNya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدُّعَاءُ هُوَ العِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ: وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Doa itu adalah ibadah. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Dan Rabbmu telah berfirman, berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (doa) kepadaku, mereka akan masuk neraka dalam keadaan hina.” (HR. Al-Imam Abu Daud dan Al-Imam At-Tirmidzi)[23]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعَنَ الله مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ
“Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat orang yang menyembelih untuk selainNya.” (HR. Al-Imam Muslim)[24]
Inilah sesungguhnya salah satu sebab pertikaian yang terjadi antara Ahlus Sunnah dan Ahlul Bid’ah, ketika Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menguasai suatu negeri maka misi utama beliau dalam penguasaan negeri itu untuk melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya menhancurkan kuburan-kuburan yang diringgikan, dan sebabnya pun jelas, bahwa pengagungan terhadap kuburan telah mengantarkan sebagian orang kepada penyembahan terhadap kuburan tersebut, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap tegas dalam permasalahan ini.
فَاعْتَبِرُوا يَٰأُوْلِى البْصَٰرِ
“Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr: 2)
Footnote:
[1] Penulisan shalawat dan doa radhiallahu ‘anhu dengan disingkat menjadi “saw” dan “ra” itu juga bukan cara yang baik. Profesor dan penulis buku ini sudah terbiasa menyingkat shalawat dan doa. Bagaimana pandangan ulama dalam masalah ini?
Al-Imam As-Sakhawi rahimahullah berkata dalam kitabnya Fathul Mughits Syarhu Alfiyatil Hadits lil ‘Iraqi, “Dan dan jauhilah wahai penulis, menuliskan shalawat dengan singkatan, yaitu menjadikannya dua huruf dan semisalnya, sehingga bentuknya kurang. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh Al-Kattani dan orang-orang jahil dari kalangan ‘ajam (non Arab) secara umum dan penuntut ilmu yang awam.”
Al-Imam As-Suyuthi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata dalam kitabnya Tadribur Rawi fi Syarhi Taqrib An-Nawawi, “Dibenci menyingkat tulisan shalawat, sebagaimana dijelaskan dalam Syarah Muslim dan kitab lainnya.” (Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah (2/339))
[2] Seorang penulis, memang sempat mencurigai Profesor sebagai penganut Syi’ah yang tidak terang-terangan. Dalam buku Aliran dan Paham Sesat di Indonesia (hal. 119) terdapat sebuah bab khusus membahas paham sesat profesor yang mirip Syi’ah, yaitu “Tak Mengaku Syi’ah Sambil Mengkafirkan Sahabat.” Penulisnya berkata, “Model menyakiti hati bahkan mengkafirkan para sahabat ternyata bukan hanya dilakukan oleh orang yang terang-terangan mengaku Syi’ah. Bahkan di Indonesia, orang yang mengaku Sunni padahal rumahnya dipasangi gambar Khomeini besar (konon kini dicopot, menurut sumber Media Dakwah) pun menulis makalah yang sangat lancang mengkafirkan para sahabat. Dialah Dr. Said Agil Siraj.”
Penulis yang sama, dalam buku Ada Pemurtadan di IAIN juga memasukkan Sang Profesor dalam daftar “Sosok-sosok Nyeleneh, Banyak yang di UIN dan IAIN.” Penulisnya berkata (pada hal. 98), “Said Aqil Siraj dosen pasca sarjana UIN Jakarta dan tokoh NU – Nahdatul Ulama – yang pernah bersuara sangat aneh dan menyakiti para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang Arab sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka murtad kecuali hanya orang-orang Arab Quraisy, itupun tidak keluarnya dari Islam bukan karena agama tetapi karena suku/kabilah. Dengan tulisannya di makalah yang sangat menyakiti para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu maka Aqil Siraj dikafirkan oleh belasan ulama dan ada gagasan untuk diusulkan ke almamaternya, Universitas Ummul Quro Makkah, agar gelar dotornya dicabut; namun malah Aqil Siraj menantang silakan dicabut, sekalian gelar hajinya yang telah ia jalani belasan kali silakan dicabut. Lancangnya Said Agil Siradj melontarkan tuduhan…”
[3] Syarhul Aqidah Al-Washitiyyah, 2/247-248
[4] Syarhul Aqidah Al-Washitiyyah, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, 2/285-287
[5] HR. Al-Imam Muslim no. 6651 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu
[6] Mereka yang menjadikan berita-berita orang kafir untuk menghantam kaum muslimin tak ubahnya seperti yang dikatakan penyair:
“Siapa yang menjadikan burung gagak sebagai dalil baginya. Maka burung itu akan membawanya melewati bangkai-bangkai anjing.”
[7] Shahih Muslim, 1/6
[8]HR. Al-Imam Muslim no. 7 dari Hafsh bin ‘Ashim radhiallahu ‘anhu.
[9] Maksud beliau rahimahullah, jika perintah itu merupakan maksiat kepada Allah maka tidak boleh ditaati, namun tetap wajib taat pada perintah lain yang bukan kemaksiatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
[10] Lihat Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 47
[11] Silsilah Syarhil Rosaail, hal. 34.
[12] Lihat Syarhu Masaail Jahiliyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 47
[13] Lihat Silsilah Syarhil Rosaail, hal. 231.
[14] Aqidah Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alam Al-Islamy, 1/27, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawi’in, Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al-Abdul Lathif, hal. 303-304.
[15] HR. At-Tirmidzi dan beliau berkata, hadits ini Hasan Shahih dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 7680.
[16] Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dalam Al-Bida’ wan Nahyu ‘Anha, sebagaimana dalam Fathul Majid Syarah Kitab At-Tauhid Syaikh Abdur Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan ta’liq Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah, hal. 255.
[17] HR. Al-Imam Muslim no. 2287 dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
[18] HR. Al-Imam Muslim no. 2289 dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma.
[19] Yang lebih tepat –wallahu A’lam-, hukumnya juga haram, karena keumuman dalil dan tidak ada dalil yang memperkecualikan kuburan yang dibangun oleh pemilik tanah pekuburan.
[20] Syarah Muslim, 7/27
[21] Apakah kalian akan menuduh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi sebagai Wahabi?! Bukankah Wahabi yang lebih layak berbangga –andaikan boleh saling membanggakan diri- dengan madzhab Syafi’i?!
[22] Al-Qoulul Asad, Qof (3), sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin,  hal. 421.
[23] HR. Abu Daud no. 1481 dan At-Tirmidzi no. 3247 dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud, no. 1329.
[24] HR. Al-Imam Muslim no. 5239, 5240, 5241 dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Ditulis oleh Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzhahullah dalam buku “Salafi, Antara Tuduhan dan Kenyataan” penerbit TooBagus cet. pertama.  Bantahan terhadap buku “Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi” karya Syaikh Idahram hadahullah.
Oleh=> Al-Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray hafidzhahullah.

Kongklusi Menurut Penganalisa: =>Jadi Bukan Ajaran Wahabinya Yang Menjadi Negatif..Tapi Pemanfaatan Politiknya Yang Sengaja dicitrakan jelek…karena memang dahulunya disusupi untuk dimanfaatkan secara politik oleh Inggris demi Raja saudi untuk mengukuhkan perlawanan terhadap Turki Ustmani..


Tidak ada komentar:

Posting Komentar