Organisasi kepemudaan yang bercorak
kebatinan Jawa pada masa lalu juga tak lepas dari pengaruh
Theosofi-Freemason. Sejarah mencatat, organisasi kepemudaan ini disusupi
kepentingan yang berusaha menyingkirkan Islam.
Dalam catatan sejarah, keluarnya
Syamsuridjal dari keanggotaan Jong Java (Perkumpulan Pemuda Jawa) dan
kemudian mendirikan Jong Islamietend Bond (JIB/ Perhimpunan Pemuda
Islam) adalah karena organisasi Jong Java menolak untuk mengadakan
kuliah atau pengajaran keislaman bagi anggotanya yang beragama Islam
dalam organisasi ini. Sementara, agama Katolik dan Theosofi justru
mendapat tempat untuk diajarkan dalam pertemuan-pertemuan Jong Java.
Pada masa lalu, Jong Java adalah organisasi yang berada dalam pengaruh
kebatinan Theosofi.
Sosok yang dianggap berpengaruh dalam
menyingkirkan Islam dari organisasi Jong Java adalah Hendrik Kraemer,
utusan Perkumpulan Bibel Belanda yang diangkat menjadi penasihat Jong
Java. Sejarawan Karel Steenbrink dalam “Kawan dalam Pertikaian:Kaum
Kolonial Belanda Islam di Indonesia 1596-1942″ menulis bahwa Kraemer
adalah misionaris Ordo Jesuit yang aktif memberikan kuliah Theosofi dan
ajaran Katolik kepada anggota Jong Java. Di organisasi pemuda inilah,
Kraemer masuk untuk menihilkan ajaran-ajaran Islam. (Lihat, Karel
Steenbrink, hal.162-163)
Selain Syamsuridjal, permintaan agar
Islam diajarkan dalam pengajaran di Jong Java juga disuarakan Kasman
Singodimedjo. Kasman bahkan mengusulkan agar Jong Java menggunakan asas
Islam dalam pergerakan dan menjadi pionir bagi organisasi-organisasi
pemuda lain, seperti Jong Sumatrenan, Jong Celebes, dan Pemuda Kaum
Betawi. Kasman beralasan, Islam adalah agama mayoritas di Nusantara, dan
mampu menyelesaikan segala sengketa dalam organisasi-organisasi yang
saat itu banyak terpecah belah. Karena tak disetujui, maka pada 1
Januari 1925, para pemuda Islam mendirikan Jong Islamietend Bond
(JIB/Perkumpulan Pemuda Islam) di Jakarta. Dengan menggunakan kata
“Islam”, JIB jelas ingin menghapus sekat-sekat kedaerahan dan kesukuan,
dan mengikat dalam tali Islam.
Dalam statuten JIB dijelaskan tentang
asas dan tujuan perkumpulan ini: Pertama, mempelajari agama Islam dan
menganjurkan agar ajaran-ajarannya diamalkan. Kedua, menumbuhkan simpati
terhadap Islam dan pengikutnya, disamping toleransi yang positif
terhadap orang-orang yang berlainan agama. Dalam kongres pertama JIB,
Syamsuridjal dengan tegas menyatakan, “Berjuang untuk Islam, itulah jiwa
organisasi kita.”
Untuk mengkonter pelecehan-pelecehan
terhadap Islam, para pemuda Islam yang tergabung dalam JIB kemudian
mendirikan Majalah Het Licht yang berarti cahaya (An-Nur). Majalah ini
dengan tegas memposisikan dirinya sebagai media yang berusaha menangkal
upaya dari kelompok di luar Islam yang ingin memadamkan cahaya Allah,
sebagaimana yang pernah mereka rasakan saat masih berada di Jong Java.
Motto Majalah Het Licht yang tercantum dalam sampul depan majalah ini
dengan tegas merujuk pada Surah At-Taubah ayat 32: “Mereka berusaha
memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah
menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun
orang-orang kafir itu tidak menyukai.”
JIB dengan tegas juga mengkonter pelecehan terhadap Islam, sebagaimana dilakukan oleh Majalah Bangoen, majalah yang dipimpin oleh aktifis Theosofi, Siti Soemandari. Majalah Bangoen yang dibiayai oleh organisasi Freemason pada edisi 9-10 tahun 1937 memuat artikel-artikel yang menghina istri-istri Rasulullah. Penghinaan itu kemudian disambut oleh para aktivis JIB dan umat Islam lainnya dengan menggelar rapat akbar di Batavia.
Sebelumnya, pada 1926, dua tahun sebelum
peristiwa Sumpah Pemuda, para aktivis muda yang berasal dari Jong
Theosofen (Pemuda Theosofi) dan Jong Vrijmetselaarij (Pemuda Freemason)
sibuk mengadakan pertemuan-pertemuan kepemudaan. Pada tahun yang sama,
mereka berusaha mengadakan kongres pemuda di Batavia yang ditolak oleh
JIB, karena kongres ini didanai oleh organisasi Freemason dan diadakan
di Loge Broderketen, Batavia. Alasan penolakan JIB, dikhawatirkan
kongres ini disusupi oleh kepentingan-kepentingan yang berusaha
menyingkirkan Islam. Apalagi, Tabrani, penggagas kongres ini adalah
anggota Freemason dan pernah mendapat beasiswa dari Dienaren van Indie
(Abdi Hindia), sebuah lembaga beasiswa yang dikelola aktivis
Theosofi-Freemason.
Pada tahun 1922, sebagaimana ditulis
oleh A.D El Marzededeq dalam “Jaringan Gelap Freemasonry: Sejarah dan
Perkembangannya Hingga ke Indonesia” disebutkan bahwa di Loge
Broderketen, Batavia, juga pernah terjadi aksi pelecehan terhadap Islam
oleh salah seorang aktivis Freemason yang memberikan pidato pada saat
itu dengan mengatakan, “Islam menurut mereka itu merupakan paduan kultur
Arab, Yudaisme, dan Kristen. Indonesia mempunyai kultur sendiri, dan
kultur Arab tidak lebih tinggi dari Indonesia. Mana mereka mempunyai
Borobudur dan Mendut? Lebih baik mengkaji dan memperdalam budi pekerti
daripada mengkaji agama impor. Kembangkan nasionalisme dalam semua
bidang.”
Sebagaimana Boedi Oetomo, organisasi
Jong Java juga sarat kepentingan untuk menyingkirkan ajaran Islam, yang
dianggap sebagai ancaman bagi kebatinan-Jawa.Sebelum bernama Jong Java,
organisasi ini bernama Tri Koro Dharmo yang berdiri pada 7 Maret 1915.
Tri Koro Dharmo berarti tiga tugas mulia, yang diperinci sebagai
berikut: Meningkat ilmu pengetahuan, memelihara kesatuan Jawa Raya, dan
menanamkan rasa cinta terhadap kebudayaan sendiri. Perubahan nama
menjadi Jong Java terjadi dalam kongres pertama Tri Koro Dharmo di Solo
pada 1918. Motto Jong Java adalah: Sakti, Boedi, Bhakti. Hendrik
Kraemer, Barend Schuurman, dan Dirk van Hinloopen Labberton, adalah
orang-orang yang sangat berpengaruh bagi anggota Jong Java.
Pada masa lalu, berdiri organisasi
underbouw Theosofi, yaitu Jong Theosofen (Pemuda Theosofi). Sebagaimana
Jong Java, Jong Theosofen juga berperan aktif dalam kongres-kongres
pemuda, termasuk dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Tujuan dari
berdirinya Jong Theosofen adalah; Pertama, memperkenalkan Theosofi
kepada kaum muda. Kedua, membantu dan memperkuat perhimpunan Theosofi.
Ketiga, memajukan persaudaraan baik nasional maupun internasional.
Syarat utama menjadi anggota Jong Theosofen adalah setuju dengan
nilai-nilai yang diajarkan Theosofi, terutama tentang persaudaraan
universal tanpa memandang agama, ras, bangsa, dan golongan. Syarat utama
ini tergolong halus, karena ujung dari upaya menghapus sekat-sekat
agama adalah netral dari setiap agama, yang bermuara pada keyakinan
tentang pluralisme agama.
Untuk merekrut kaum muda, Theosofi juga
mendirikan majalah khusus anak muda, yaitu Majalah Lotus (terbit di
Bandung 1939) dan Majalah Dyana (terbit di Semarang 1954). Sampul depan
Majalah Dyanai dengan jelas tertera kalimat dari tujuan majalah ini
didirikan:”Mengemukakan Peladjaran, Ilmu Pengetahuan tentang:
Ke-TUHANAN, Ke-BATINAN, AGAMA, Setjara Bebas dan Umum.”
sumber: www.suara-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar