Theosofi-Freemason tidak mempercayai
adanya ritual doa kepada Sang Maha Pencipta. Mereka juga tak
mempercayai adanya surga dan neraka. Anggota Theosofi yang mengaku
muslim, membuat penafsiran ajaran Islam dengan pemahaman yang
menyimpang.
Sebagai perkumpulan kebatinan yang
meyakini bahwa Tuhan punya banyak nama, dan masing-masing agama hanyalah
berbeda dalam memberi nama pada tuhannya, maka penganut Theosofi yang
mengaku beragama Islam, menerjemahkan kalimat thayyibah “Laa Ilaaha Illallah” dengan
“Tiada Gusti Allah, melainkan Gusti Allah”. Terjemah tersebut kemudian
dijelaskan, bahwa pengertiannya ada dua macam: Pertama, kita tidak boleh
percaya lain rupa kekuasaan atau lain kekuatan melainkan Gusti Allah
punya kekuasaan sendiri. Kedua, yaitu yang Gusti Allah menempati
badannya manusia. Keterangan mengenai ini ditulis dalam Majalah Pewarta Theosofi Boeat Tanah Hindia Nederland, 1906.
Makna pertama, meskipun seolah terlihat
bagus, bahwa kita tidak boleh percaya kepada kekuasaan dan kekuatan
selain yang dipunya Gusti Allah, namun Gusti Allah dalam pandangan
Theosofi adalah Tuhan yang dimiliki oleh setiap agama-agama, yang
merupakan kesatuan batin dalam keyakinan (esoteris). Tuhan dalam
keyakinan Theosofi punya banyak nama: God, Yahweh, Sang Hyang,
dan lain-lain, yang pada hakikatnya menurut mereka merujuk pada Zat Yang
Satu, meskipun namanya berbeda-beda, meskipun agamanya berlainan rupa.
Tokoh sekular pendiri Yayasan Paramadina, Nurcholish Madjid pernah
membuat sebuah tulisan dengan judul “Satu Tuhan Banyak Jalan”.
Terjemahan menyimpang tentang kalimat “Laa Ilaaha Illallah” juga pernah dilakukan oleh mendiang Nurcholish Madjid. Ia menerjemahkan kalimat “Laa Ilaaha Illallah” dengan
“Tiada tuhan melainkan Tuhan”. Cak Nur yang merupakan lokomotif gerakan
sekular di Indonesia ini membagi tuhan (dengan “t” kecil) dengan Tuhan
(dengan “T” besar). Terjemahan Cak Nur dianggap mengacu pada terjemahan
ala Barat dan Bibel, yang menyebut Tuhan dengan sebutan “god” (dengan
“g” kecil) dan “God” (dengan “G” besar). Dalam Kitab Mazmur 109:1, 2
disebutkan “Tuhan telah bersabda kepada tuhanku.”
Dalam Islam, kata “Allah” adalah lafzhul jalalah (lafazh yang tinggi dan mulia), yang disebut dalam Al-Qur’an sebanyak 2679 kali, yang semuanya dalam bentuk singular (mufrad) atau tunggal. Allah dalam keyakinan Islam adalah “al-ma’bud bi haqqin”, Zat
satu-satunya yang berhak untuk disembah, yang tidak ada bandingan-Nya,
tidak ada yang menyerupai-Nya, tidak berbilang dan tidak memiliki
nama-nama lain, kecuali Al-Asma’ Al-Husna yang merupakan
sifat-sifat keagungan-Nya. Kata “Allah” tidak bisa diartikan dengan
“Tuhan” sebagaimana kata “al-ilah”. (Lihat, Ahmad Husnan, Jangan
Terjemahkan Al-Qur’an Menurut Visi Injil dan Orientalis, Jakarta: Media
Dakwah, 1987)
Makna kedua dari kalimat “Laa Ilaaha Illallah” ala terjemah Theosofi, yaitu yang Gusti Allah menempati badannya manusia, adalah keyakinan kufur yang mengacu pada paham wihdatul wujud atau al-hulul. Paham ini pada masa lalu dikenal di Nusantara dengan istilah “manunggaling kawula gusti”,
yaitu keyakinan bahwa manusia dan Tuhan itu manunggal, sebagaimana
keyakinan yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar alias Syekh Lemah Abang.
Theosofi menyebut manunggalnya manusia dengan Tuhan sebagai pancaran
yang disebut dengan istilah “pletik Ilahi (God in being)”.
Manusia sejati (ingsun sejati) dalam
keyakinan Theosofi adalah manusia yang mengamalkan lelaku batin
sehingga bisa manunggal dengan Tuhan. Manusia sejati adalah pancaran
dari gambaran Tuhan. Maka Manusia Sejati harus mengamalkan asas-asas
Ilahi, yaitu kasih sayang, kebenaran, dan kesatuan hidup. “Dengan
mengenal diri kita sendiri, kita akan mengenal Tuhan, Kasunyatan Hidup,
Kebenaran. Tuhan itu Hidup, Jalan, Kebenaran, Kasih. Allah kasih
meliputi segala-galanya. Allah adalah semua dalam semua. Kita Hidup,
bergerak, dan ada di dalam Dia. “ Inilah yang disebut dengan pletik ilahi atau God in being. (PB Perwathin, No. 5, Tahun VIII, Mei 1973). Sang Kasih, menurut Theosofi, menggabungkan semua dalam kesatuan.
Keyakinan soal manunggalnya hamba dengan
Tuhan juga diungkapkan tokoh Boedi Oetomo, dokter Soetomo. Dalam buku
“Kenang-kenangan Dokter Soetomo” yang dihimpun oleh Paul W van der Veur,
disebutkan bahwa Soetomo pernah mengatakan bahwa pemancaran zat
Tuhan,”Itulah sebenarnya keyakinan saya. Itulah keyakinan yang mengalir
bersama darah dalam segala urat tubuh saya. Sungguh, sesuai-sesuai
benar.” (hal. 30). Soetomo juga mengatakan, “Aku dan Dia satu dalam
hakikat, yakni penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan yang sadar…”
(hal.31).
Soetomo sebagaimana para penganut
kebatinan Theosofi lainnya, tidak melakukan shalat lima waktu selayaknya
umat Islam lainnya, melainkan melakukan semedi, meditasi, yoga, dan
sebagainya. “Soetomo lebih mementingkan “semedi” untuk mendapat
ketenangan hidup, ketimbang sembahyang,” tulis Paul W van der Veur
(hal.31). Karena cukup hanya dengan semedi, maka para penganut kebatinan
juga tidak melakukan ritual doa kepada Sang Maha Kuasa. Bagi mereka
semedi yang melahirkan sikap eling sudah cukup untuk mendekatkan diri
pada Tuhan.
Pendiri Theosofi, Helena Petrovna
Blavatsky dalam bukunya “Kunci Pembuka Ilmu Theosofi (The Key to
Theosophy)” menyatakan bahwa Theosofi tidak percaya dengan doa, dan
tidak melakukan doa. Theosofi mempercayai “doa kemauan” yang ditujukan
kepada Bapak di sorga dalam artian esoteris, yaitu Tuhan yang tidak ada
sangkut pautnya dengan bayangan manusia, atau Tuhan yang menjadi
intisari ilahiah yang dimiliki semua agama. Berdoa, kata Blavatsky
mengandung dua unsur negatif: Pertama, membunuh sifat percaya diri
manusia yang ada dalam diri manusia sendiri. Kedua, mengembangkan sifat
mementingkan diri sendiri. (hal.50).
Dalam Islam tentu berbeda, umat Islam
dianjurkan untuk berdoa sebagai sarana memohon pertolongan, memohon
perlindungan, mengadukan segala persoalan kepada Allah, Rabbul alamin.
Berdoa juga wujud dari sikap rendah hati seorang hamba dengan Tuhannya,
selain juga sarana untuk berkomunikasi secara intim dengan Sang Maha
Pencipta. “Memohonlah kepada-Ku, maka niscaya Aku akan kabulkan permohonanmu…” (QS. Ghafir: 60). Di ayat lain, Allah berfirman,“Hai
orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan
sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah [2]: 153)
Selain tidak menjalankan ritual doa,
Theosofi-Freemason juga tidak meyakini adanya dosa dan pahala, surga dan
neraka, bahkan tidak mengakui adanya hukum Tuhan. Mereka berkeyakinan
adanya hukum “kodrat alam”, di mana ganjaran kebaikan dan hukuman bagi
kejahatan ditentukan oleh kodrat alam dan hati nurani. Keyakinan
Theosofi menyatakan, “Kalau Anda berbuat, maka akan ada orang yang
membalas berbuat baik. Kalau Anda berbuat jahat, maka akan ada orang
yang membalas kejahatan Anda. That’s all, ini saja.” Inilah yang disebut
dengan “kodrat alam.”
Keyakinan ini tentu bertolak belakang
dengan apa yang diajarkan Islam. Dalam Islam, orang yang berbuat baik,
selain dapat balasan dari manusia di dunia, juga akan mendapat balasan
pahala dari Allah di akhirat kelak. Begitu juga, jika berbuat jahat,
selain mendapat balasan kejahatan di dunia, juga akan mendapatkan dosa
di akhirat. Orang Islam yang beriman dan beramal shaleh akan masuk
surga, orang-orang yang mengaku Islam namun berbuat kejahatan dan
kemusyrikan, apalagi mereka yang di luar Islam atau kafir maka akan
mendapatkan balasan di neraka. Inilah hukum Tuhan, karena Islam meyakini
ada kehidupan lagi setelah kematian nanti.
Sumber: http://www.voa-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar