Selain ajaran Theosofi yang merusak
akidah Islam, para aktivis Theosofi di Indonesia pada masa lalu banyak
terlibat dalam berbagai aksi pelecehan terhadap ajaran Islam. Ironisnya,
mereka adalah orang-orang yang disebut dalam buku-buku sejarah sebagai
tokoh-tokoh nasional.
Dalam buku “Sejarah Indonesia Modern”,
sejarawan MC Ricklef menyatakan, Theosofi di Indonesia pada masa lalu
banyak terlibat dalam berbagai aksi pelecehan terhadap Islam. Bukan
hanya ajarannya yang banyak berseberangan dengan akidah Islam
sebagaimana banyak dipaparkan oleh penulis pada tulisan beberapa edisi
lalu, namun juga para aktivis Theosofi yang merupakan elit-elit nasional
pada masa lalu, juga banyak melakukan pelecehan terhadap Islam. Para
aktivis Theosofi yang umumnya elit Jawa penganut kebatinan, menganggap
Islam sebagai agama impor yang tidak sesuai dengan kebudayaan dan jati
diri bangsa Jawa.
A.D El Marzededeq, peneliti jaringan Freemason di Indonesia dan penulis buku “Freemasonry Yahudi Melanda Dunia Islam” menyatakan
tentang gambaran elit Jawa dalam kelompok Theosofi dan Freemasonry pada
masa lalu. Marzededeq menulis, “Perkumpulan kebatinan di Jawa yang
berpangkal dari paham Syekh Siti Jenar makin mendukung keberadaan
Vrijmetselarij (Freemason). Para elit Jawa yang menganut paham wihdatul wujud (menyatunya
manusia dengan Tuhan, red) yang dibawa oleh Syekh Siti Jenar, kemudian
banyak yang menjadi anggota Theosofi-Freemasonry, baik secara murni
ataupun mencampuradukkannya dengan kebatinan Jawa…” (hal.8)
Para elit Jawa dan tokoh-tokoh
kebangsaan yang tergabung sebagai anggota Theosofi-Freemason di
Indonesia pada masa lalu kerap kali berada di balik berbagai pelecehan
terhadap Islam. Misalnya, mereka menyebut ke Boven Digul lebih baik
daripada ke Makkah, mencela syariat poligami, dan menyebut agama Jawa (Gomojowo)
atau Kejawen lebih baik daripada Islam. Penghinaan-penghinaan tersebut
dilakukan secara sadar melalui tulisan-tulisan di media massa dan
ceramah-ceramah di perkumpulan mereka. Penghinaan-penghinaan itu makin
meruncing, ketika para anggota Theosofi-Freemason yang aktif dalam
organisasi Boedi Oetomo, berseteru dengan aktivis Sarekat Islam.
Pada sebuah rapat Gubernemen Boemipoetra
tahun 1913, Radjiman Wediodiningrat, anggota Theosofi-Freemason,
menyampaikan pidato berjudul “Een Studie Omtrent de S.I (Sebuah
Studi tentang Sarekat Islam)” yang menghina anggota SI sebagai orang
rendahan, kurang berpendidikan, dan mengedepankan emosional dengan
bergabung dalam organisasi Sarekat Islam. Radjiman dengan bangga
mengatakan, bakat dan kemampuan orang Jawa yang ada pada para aktivis
Boedi Oetomo lebih unggul ketimbang ajaran Islam yang dianut oleh para
aktivis Sarekat Islam. Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1917, ketika umat
Islam yang aktif di Boedi Oetomo meminta agar organisasi ini
memperhatikan aspirasi umat Islam, Radjiman dengan tegas menolaknya.
Radjiman mengatakan, “Sama sekali tidak bisa dipastikan bahwa orang Jawa
di Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut agama Islam.”
Anggota Theosofi lainnya yang juga
aktivis Boedi Oetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, juga melontarkan
pernyataan yang melecehkan Islam. Adik dari dr. Tjipto Mangoekoesomo ini
mengatakan, “Dalam banyak hal, igama Islam bahkan kurang akrab dan
kurang ramah hingga sering nampak bermusuhan dengan tabiat kebiasaan
kita. Pertama-tama ini terbukti dari larangan untuk menyalin Qur’an ke
dalam bahasa Jawa. Rakyat Jawa biasa sekali mungkin memandang itu biasa.
Tetapi seorang nasionalis yang berpikir, merasakan hal itu sebagai
hinaan yang sangat rendah. Apakah bahasa kita yang indah itu kurang
patut, terlalu profan untuk menyampaikan pesan Nabi?”
Goenawan Mangoenkoesomo adalah diantara
tokoh nasional yang hadir dalam pertemuan di Loji Theosofi Belanda pada
1918, selain Ki Hadjar Dewantara, dalam rangka memperingati 10 tahun
berdirinya Boedi Oetomo. Apa yang ditulis Goenawan di atas dikutip dari
buku Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-Mei 1918 yang
diterbitkan di Amsterdam, Belanda. Dalam buku yang sama, masih dengan
nada melecehkan, Goenawan menulis, “Jika kita berlutut dan
bersembahyang, maka bahasa yang boleh dipakai adalah bahasanya bangsa
Arab…”
Terkait dengan ajaran Islam dan
kebudayaan Islam, Goenawan secara sinis mengatakan,”Bagaimanapun tinggi
nilai kebudayaan Islam, ternyata kebudayaan itu tidak mampu menembus
hati rakyat. Bapak penghulu boleh saja supaya kita mengucap syahadat:
“Hanya ada satu Allah dan Muhammad-lah Nabi-Nya”, tetapi dia tidak akan
bisa berbuat apa-apa bila cara hidup kita, jalan pikiran kita, masih
tetap seperti sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara kasar oleh
Demak.”
Majalah Bangoen yang dikelola oleh
aktivis Theosofi, Siti Soemandari, juga pernah memuat pelecehan terhadap
istri-istri Rasulullah dan syariat poligami. Selain itu, sebuah surat
kabar bernama Djawi Hisworo yang dikelola oleh para penganut kebatinan
Theosofi juga melakukan pelecehan terhadap pribadi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada
8 dan 11 Januari 1918, Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono
memuat artikel yang menyebut Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan pemadat.
Artikel ini kemudian memicu kemarahan besar aktivis Sarekat Islam dengan
menggelar rapat akbar di Surabaya pada 6 Februari 1918. Dalam rapat
akbar tersebut kemudian terbentuklah sebuah satuan khusus yang bertugas
untuk melawan segala bentuk penghinaan terhadap Rasulullah. Satuan
khusus itu bernama “Tentara Kandjeng Nabi Moehammad atau Tentara Kandjeng Rosoel”
Tentara Kandjeng Nabi Moehammad diketuai oleh HOS Tjokroaminoto dan diantara anggotanya adalah KH Achmad Dahlan. Dalam dokumen resminya, satuan khusus atau laskar pembela Islam ini menyatakan tujuan berdirinya adalah, “Mencari persatuan lahir batin antara segenap kaum moeslimin, terutama sekali yang tinggal di Hindia Belanda, dan untuk menjaga dan melindungi kehormatan igama Islam, kehormatan Nabi Moehammad saw, dan kehormatan kaum moeslimin.” Satuan khusus ini, pada saat ini adalah semisal dengan Laskar Pembela Islam, laskar yang berada di bawah organisasi Front Pembela Islam (FPI).
Tentara Kandjeng Nabi Moehammad diketuai oleh HOS Tjokroaminoto dan diantara anggotanya adalah KH Achmad Dahlan. Dalam dokumen resminya, satuan khusus atau laskar pembela Islam ini menyatakan tujuan berdirinya adalah, “Mencari persatuan lahir batin antara segenap kaum moeslimin, terutama sekali yang tinggal di Hindia Belanda, dan untuk menjaga dan melindungi kehormatan igama Islam, kehormatan Nabi Moehammad saw, dan kehormatan kaum moeslimin.” Satuan khusus ini, pada saat ini adalah semisal dengan Laskar Pembela Islam, laskar yang berada di bawah organisasi Front Pembela Islam (FPI).
Terbentuknya Tentara Kandjeng Nabi
Moehammad juga mendapat respon positif dari umat Islam di berbagai
daerah. Berbagai aksi digelar untuk menggalang dukungan dan dana. Pada
24 Februari 1918, satuan khusus ini menggelar pertemuan di beberapa
tempat di Jawa dan sebagian Sumatera. Tujuannya adalah agar umat paham
akan keberadaan satuan khusus ini, yang memang mempunyai tujuan
menghalau segala bentuk penghinaan terhadap Islam. Pembentukan satuan
khusus ini kemudian mendapat reaksi keras dari kelompok kebatinan dan
kejawen, baik yang tergabung dalam Theosofi-Freemason, maupun dari Boedi
Oetomo. Mereka yang antipati terhadap laskar Islam ini kemudian
mendirikan “Komite Nasionalisme Jawa” (Comittee voor het Javaasche Nationalisme).
Komite ini menuduh terbentuknya Tentara
Kandjeng Nabi Moehammad yang dibentuk oleh Sarekat Islam adalah upaya
untuk menghalang-halangi bangsa Jawa dalam mengamalkan kepercayaan Jawa,
dan menghalang-halangi kepercayaan agama lain di luar Islam. Komite ini
juga menuduh Tentara Kandjeng Nabi Moehammad dibentuk oleh bangsa
asing, yakni bangsa Arab. Komite Nasionalisme Jawa dengan tegas
menyatakan, “Politik dan agama harus dipisahkan.”
Tudingan ini kemudian dijawab oleh
aktivis SI, Abdoel Moeis, dengan menyatakan bahwa terbentuknya Tentara
Kandjeng Nabi Moehammad adalah isyarat agar pihak-pihak di luar Islam
tidak lagi semena-mena dalam melakukan pelecehan terhadap Islam. Abdoel
Moeis juga mengingatkan para penganut kebatinan dan kejawen, bahwa umat
Islam tidak rela jika junjungannya yang mulia dihina. Abdoel Moeis
menegaskan, SI berkeyakinan bahwa politik dan agama itu serangkai, tidak
bisa dipisahkan. SI juga berdiri sebagai perlawanan terhadap Kerstening
Politiek (Politik Kristenisasi) yang dilancarkan oleh kolonial Belanda.
Dengan sangat melecehkan dan
mencampuradukkan antara simbol Islam dengan simbol kemusyrikan, Majalah
Pewarta Theosofie Boeat Indonesia Tahun 1930 menyebut Candi Borobudur
sebagai “Baitullah di Tanah Java”. Theosofi menganggap, antara ke
Baitullah di Makkah dan Baitullah di Tanah Java sama saja nilainya,
karena sama-sama Baitullah, sama-sama rumah Allah. Penyebutan ini tentu
melecehkan, karena bagi umat Islam, bangunan yang dipercaya sebagai
Baitullah adalah Ka’bah yang berada di Makkah Al-Mukarramah, tempat umat
Islam seluruh dunia berthawaf mengelilinginya dalam ibadah haji.
Pelecehan oleh aktivis Theosofi dan Boedi Oetomo juga dilakukan dengan
mengatakan bahwa orang yang pergi ke Makkah adalah menimbun modal untuk
kepentingan bangsa asing. Dalam sebuah artikel yang ditengarai ditulis
oleh penganut Theosofi, dengan nama Homo Sum, disebutkan,”Uang yang
digunakan untuk naik haji ke Mekah sebenarnya lebih baik digunakan untuk
usaha-usaha di bidang ekonomi dan kepentingan nasional.” (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar